Selasa 20 Jun 2017 20:40 WIB

Polri Bentuk Tim Konsultasi dengan DPR Terkait Miryam

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Bayu Hermawan
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan membentuk tim untuk melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terkait permintaan pemanggilan Miryam S Haryani dalam rapat hak angket.

Kapolri Tito Karnavian mengatakan, saat ini terdapat perbedaan pandangan hukum antara Polri dan DPR. Sebab permintaan dari DPR untuk menjemput paksa warga negara harus sesuai dengan pro justitia atau hukum acara pidana dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).

"Oleh karena itu akan ada tim Polri dipimpin Wakapolri melakukan konsultasi hukum dengan komisi III DPR. Apakah ada kesepakatan mengenai interprestasi hukum ini," katanya usia buka bersama di perguruan tinggi ilmu kepolisian (PTIK), Selasa (20/6).

Tito menuturkan, permintaan DPR untuk mendatangkan Miryam berdasarkan undang-undang (UU) MD3 dengan bantuan kepolisian memang tertulis.

Namun, setelah melakukan konsolidasi internal dengan sejumlah pakar, Polri menilai bahwa permintaan tersebut belum sesuai. Untuk melakukan penjemputan pak‎sa harus ada surat perintah membawa atau surat perintah penangkapan. Setelah itu barulah dibawa dan dihadapkan.

Menurutnya, dalam UU MD3 pasal 204 dan 205 belum diperjelas apakah penjemputan seseorang bentukanya apakah dalam surat perintah penangkapan, surat perintah membawa paksa atau dalam bentuk lain. Sebab selama ini Polri hanya mengikuti UU KUHAP.

"Yang ada (dalam KUHAP) surat perintah membawa dalam proses pidana. Nah ini (Hak Angket) kan bukan proses pidana, ini proses politik legislatif," ujarnya.

Dengan adanya konsultasi dengan DPR, Tito berharap terdapat ada kesepakatan dan solusi atas permintaan DPR. Jika tidak, maka Polri akan meminta fatwa kepada instansi yang berwenang menginterprestasikan hukum pasal 204 dan 205 dalam UU MD3, dalam hal ini mahkamah agung (MA).

Tito menegaskan, ‎kepolisian bukan tidak mau membantu DPR atas persoalan ini. Namun, kepolisian tidak bisa bergerak gegabah karena persoalan ini adalah masalah hukum. Ketika kepolisian bertindak salah, maka bisa dituntut.

Meski ada tekanan dari anggota DPR untuk ‎membekukan anggaran Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tito memastikan bahwa anggaran Polri tidak akan terganggu. Mekanisme anggaran ini sudah ada dalam undang-undang dan akan dimasukan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Terlebih anggaran kepolisian yang dipersiapkan adalah dana yang dipergunakan untuk kegiatan keamanan masyarakat. "Kita memiliki porses komunikasi politik juga, ga mungkin akan mengorbankan operasi kepolisian untuk keamanan masyarakat," ujar Tito.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement