REPUBLIKA.CO.ID, MANUS -- Hampir 2.000 pria yang ditahan oleh Pemerintah Australia di Pulau Manus bisa menerima kompensasi atas penganiayaan yang mereka terima. Menurut sejumlah ahli hukum, hal ini akan menjadi penyelesaian kasus hak asasi manusia terbesar dalam sejarah hukum Australia.
Sidang gugatan melawan Departemen Imigrasi Australia dijadwalkan akan dimulai di Pengadilan Tinggi Victoria pada Rabu (14/6), namun gugatan ini diperkirakan akan dibereskan, dan bukannya dilanjutkan ke proses sidang selama enam bulan.
Dari informasi yang dihimpun ABC, ribuan tahanan pria tersebut kemungkinan akan menerima pembayaran yang cukup besar dari Pemerintah Australia jika penyelesaian gugatan tercapai. Gugatan tersebut diajukan oleh firma hukum ‘Slater and Gordon’ atas nama 1.905 pria yang ditahan di Pulau Manus antara November 2012 hingga Desember 2014.
Salah seorang pria, yakni pengungsi Sudan bernama Abdul Aziz Muhammad, telah tinggal di pulau itu selama empat tahun dan berada di sana saat insiden kekerasan -yang mengakibatkan kematian sesama tahanan bernama Reza Barati -terjadi pada Februari 2014.
"itu adalah saat yang sangat sulit bagi kami di sana dan terutama bagi siapa pun yang mengenal Reza Barati dan siapa pun yang melewati tragedi itu, saya rasa tak ada sesuatu di planet ini yang bisa membuat Anda melupakan apa yang Anda lihat pada malam itu," ungkapnya.
"Saya bisa bilang, tinggal di Pulau Manus itu seperti tinggal di neraka," katanya dari Port Moresby di Papua Nugini tempat di mana ia menerima perawatan medis.
Ini bukanlah pertama kalinya kasus besar melawan Departemen Imigrasi Australia diselesaikan tanpa melewati proses pengadilan. Dua puluh penyedia layanan hukum yang dihubungi oleh ABC melaporkan pihak mereka memiliki total gabungan lebih dari 80 kasus kompensasi terhadap Departemen Imigrasi Australia sejak bulan Januari 2015.
Mayoritas kasus tersebut diselesaikan sebelum masuk ke pengadilan, dengan para penggugat mendapat pembayaran yang signifikan. Sebagian besar memiliki perjanjian kerahasiaan yang ketat. Jennifer Kanis, kepala keadilan sosial di ‘Maurice Blackburn’, mengatakan, firma hukum tersebut baru saja menyelesaikan sebuah gugatan atas nama seorang gadis muda yang ditahan di Pulau Christmas.
"Setiap kali gugatan yang kami ajukan mendekati proses pengadilan dan diungkap ke publik, Pemerintah menyelesaikan tuntutannya," kata Jennifer Kanis.
"Saya hanya bisa berasumsi bahwa mereka tak menginginkan sorotan publik tentang bahaya yang disebabkan oleh penahanan atau sorotan tentang apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kerugian tersebut," jelasnya.
Kompensasi jutaan dolar
Greg Barns, seorang pengacara yang berbasis di Hobart, telah menjadi penasehat dari gugatan untuk 731 pria di Pulau Manus. Ia yakin, kasus ini juga akan beres dan ia memperkirakan masing-masing pria itu bisa menerima sekitar $ 150.000 (atau setara Rp 1,5 miliar).
"Gugatan di Papua Nugini benar-benar melibatkan pertanyaan tentang prosedur pemenjaraan yang salah. Apa artinya ini ... bahwa untuk setiap hari penahanan tidak sah mereka, mereka berhak mendapat kompensasi," jelasnya.
Dokumen yang diperoleh berdasarkan pengajuan Kebebasan Informasi oleh Aliansi Pengacara Australia menyatakan bahwa antara tahun 1999 dan 2011, Departemen Imigrasi Australia membayar 23,4 juta dolar AS (atau setara Rp 234 miliar) sebagai kompensasi kepada orang-orang yang pernah ditahan di pusat penahanan imigrasi yang dikelola Australia.
"Kecurigaan kami adalah bahwa jumlah itu akan jauh lebih tinggi sekarang karena banyak proses pengadilan telah terjadi dalam lima tahun terakhir," kata Barns.
"Tak ada keraguan bahwa pada suatu saat di Australia, sejumlah besar gugatan diajukan terhadap Departemen Imigrasi," sambungnya.
Departemen Imigrasi Australia belum memberi komentar.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 16:15 WIB 13/06/2017 oleh Nurina Savitri.