Rabu 12 Jul 2017 14:24 WIB

PBB Memperkirakan Gaza tak Layak Ditinggali pada 2020

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Bendera di Jalur Gaza.
Foto: Reuters
Bendera di Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- PBB memperkirakan, pada 2020, Gaza akan menjadi tempat yang tak akan bisa ditinggali lagi. Hal ini karena beberapa indikator penunjang hidup yang terus memburuk di Gaza.

Koordinator Bantuan dan Pembangunan PBB untuk Palestina Robert Piper mengungkapkan, kondisi 2 juta penduduk Gaza dari tahun ke tahun kian mengkhawatirkan.

Satu dekade setelah kelompok Hamas merebut Gaza, perlahan tapi pasti penduduk Gaza mulai menghadapi krisis, seperti penurunan pendapatan, minimnya perawatan kesehatan, pendidikan, hingga sulitnya sumber energi atau listrik.

"Setiap indikator, dari energi hingga air, perawatan kesehatan hingga pekerjaan, kemiskinan hingga kerawanan pangan, setiap indikator ini menurun. Warga Gaza telah melewati perkembangan deformasi lambat ini selama satu dekade," ungkap Piper menerangkan seperti dikutip laman Al Araby, Rabu (12/7).

Piper mengamati sumber pasokan listrik yang kian susut di Gaza. Menurutnya, tahun ini merupakan tahun terparah dari kekurangan sumber pasokan listrik di daerah yang diisolasi tersebut.

Gaza, kata dia, dalam beberapa hari belakangan hanya menerima suplai listrik sebesar 90 megawatt. Padahal untuk menunjang kehidupan dan kegiatan 2 juta penduduk Gaza, menurut Piper, dibutuhkan setidaknya 450 megawatt pasokan listrik.

Gaza saat ini memang mengandalkan pasokan listrik dari Israel yang terus menerus dipangkas jatahnya. Namun Israel mengklaim bahwa pemotongan suplai listrik merupakan permintaan Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah. 

Piper mengatakan, pada 2020, bila pertumbuhan pendudukan di Gaza meningkat, Gaza akan membutuhkan suplai listrik setidaknya 850 megawatt per hari. Namun Piper menilai pasokan listrik tidak akan mungkin mencapai atau melebihi 360 megawatt.

Hasilnya adalah penduduk Gaza, yang diproyeksikan akan tumbuh sekitar 10 persen dalam tiga tahun ke depan, harus siap menghadapi krisis di semua aspek, termasuk kelangkaan sumber daya. "Saya melihat proses mencekik yang luar biasa tidak manusiawi dan tidak adil ini secara perlahan," kata Piper.

Menurutnya, saat ini setiap pihak yang berpolemik di Gaza harus mampu menempatkan kepentingan dan kebutuhan warga di sana di atas apapun. "Seseorang harus melangkah mundur dan menempatkan kepentingan warga sipil di puncak antrean untuk sebuah perubahan," ujar Piper.

Setelah Hamas mengambil alih Gaza, Israel segera melakukan blokade dan isolasi untuk daerah tersebut dengan tujuan untuk menekan Hamas. Israel membatasi pasokan barang, termasuk orang-orang yang ingin keluar dan masuk ke Gaza. Bekerja sama dengan Mesir, Israel juga membatasi akses menuju laut untuk menegakkan blokade Gaza.

Di saat yang bersamaan, Hamas terlibat perselisihan dengan Otoritas Palestina (PA) yang berbasis di Ramallah. Perselisihan ini dinilai menjadi salah satu penyebab kelangkaan listrik di Gaza. Sebab Israel menyebut bahwa pemangkasan aliran listrik ke Gaza merupakan permintaan PA.

Pada April lalu, Presiden Palestina, sekaligus pemimpin PA, Mahmoud Abbas, berjanji akan mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan untuk menekan gerakan perlawanan Hamas yang berbasis di Gaza. Tujuannya adalah agar Hamas melepaskan kendali atas Gaza.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement