REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Seorang mahasiswa pascasarjana Cina-Amerika Xiyue Wang dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun oleh pengadilan Iran, pada Ahad (16/7), setelah dituduh melakukan spionase. Langkah ini kemungkinan akan meningkatkan ketegangan antara Iran dan pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
"Telah diverifikasi dan ditentukan bahwa dia sedang mengumpulkan informasi dan terlibat dalam infiltrasi," kata juru bicara pengadilan Iran, Gholamhossein Mohseni Ejehi. Wang diduga sedang dalam proses pengumpulan artikel rahasia untuk dikirim ke Departemen Luar Negeri AS dan institusi akademis Barat lainnya.
Menurut laporan kantor berita Mizan, Wang merupakan seorang mahasiswa pascasarjana dan peneliti di Princeton University. Laporan tersebut juga mengatakan, dia lahir di Beijing dan merupakan warga negara ganda Cina dan AS, namun informasi tersebut belum dapat dikonfirmasi.
Laporan itu juga menunjukkan testimoni dari Wang yang ditujukan kepada British Institute of Persian Studies karena telah memfasilitasi aksesnya ke Arsip Nasional Iran dan perpustakaan lainnya. Kutipan tersebut digunakan sebagai bukti aktivitas spionase yang dilakukannya.
"Saya mengalami kesulitan mengakses arsip dan perpustakaan di Teheran. Nyonya Reyhanpour menawarkan bantuan. Dan dalam beberapa hari, dia mengajak saya berhubungan dengan para ilmuwan senior di Arsip Nasional. Tanpa bantuan Reyhanpour, akan sulit membayangkan berapa lama waktu yang saya habiskan untuk berkenalan dengan institusi akademis di Iran," tulis Wang, dikutip The Washington Post.
Tidak jelas berapa lama Wang akan berada di tahanan Iran, namun pihak berwenang telah menahannya sejak Agustus 2016 saat dia hendak meninggalkan negara tersebut. Halaman Facebook dan LinkedIn dengan foto Wang menunjukkan dia belajar di Universitas Harvard dari 2006 sampai 2008, dan kemudian bekerja sebagai juru bahasa Pashto untuk Komite Internasional Palang Merah di Afghanistan.
Kasus Wang muncul di waktu yang cukup menegangkan antara AS dan Iran. Hubungan keduanya telah semakin memburuk sejak Presiden Trump mulai menjabat.
Di bawah pemerintahan sebelumnya, AS dan kekuatan dunia lainnya telah menegosiasikan kesepakatan dengan Iran untuk mengekang program nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi. Langkah ini dipuji sebagai kemenangan diplomasi yang mengakhiri isolasi global Iran.
Namun, pemerintahan Trump justru kembali meningkatkan retorika anti-Iran dan menempatkan partisipasi AS dalam pengkajian kesepakatan nuklir. Senin (18/7) adalah batas waktu bagi Gedung Putih untuk memutuskan apakah akan mengeluarkan pembebasan sanksi terkait nuklir terhadap Iran, sebuah ketentuan yang diperlukan secara berkala sesuai dengan kesepakatan nuklir 2015.