REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK mengajukan banding terhadap vonis mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dalam kasus tindak pidana korupsi KTP Elektronik (KTP-E). "Kami mengajukan banding terhadap vonis Irman dan Sugiharto," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Irene Putri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (26/7).
Pada sidang 20 Juli 2017 lalu, majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis kepada Irman selama 7 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar denda 500 ribu dolar AS dikurangi 300 ribu dolar AS dan Rp 50 juta subsider 2 tahun kurungan. Sedangkan terhadap Sugiharto hukuman 5 tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider 1 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti 50 ribu dolar AS dikurangi pengembalian 30 ribu dolar AS dan Rp150 juta subsider 1 tahun kurungan.
"Starfmaat" (besaran jumlah pidana) terhadap Irman dan Sugiharto memang sesuai dengan tuntutan JPU KPK, tapi vonis majelis tidak memasukkan sejumlah fakta persidangan, termasuk tidak memasukkan sejumlah nama anggota DPR yang diduga menerima uang KTP-E seperti dalam dakwaan jaksa. "Karena banyak fakta hukum pada persidangan yang belum dipertimbangkan hakim," kata Irene menyebutkan alasan KPK banding.
Sejumlah fakta hukum yang tidak dipertimbangkan, menurut Irene, adalah hakim tidak mempertimbangkan pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mengenai pembagian uang ke anggota Komisi II, tidak disebutkannya nama mantan ketua fraksi Partai Golkar Setya Novanto sebagai pihak yang bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dan tidak dicantumkannya nama-nama anggota DPR lain sebagai pihak penerima dana KTP-E.
"Termasuk keterangan Nazaruddin juga belum dipertimbangkan, tidak ada satu pun keterangan Nazar yang dipertimbangkan hakim," tambah Irene.
Padahal dalam sidang, Nazarudin mengaku bahwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong membagi-bagikan uang di ruangan Setya Novanto dan anggota Komisi II dari fraksi PDI-Perjuangan Mustoko Weni. Dalam pertimbangannya, hakim hanya mengatakan, bahwa Setya Novanto adalah kunci kelulusan anggaran KTP-E di DPR.
"Dalam kesempatan itu Andi Agustinus mengatakan kepada terdakwa I Irman dan terdakwa II Sugiharto bahwa kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, tapi pada Setya Novanto. Andi Agustinus membicarakan peran yang bisa dimainkannya dan terdakwa 1 menyarankan agar Andi bergabung dengan pemenang uji petik KTP-E yaitu Winata Tjahyadi namun tidak ada kesepaktan antara keduanya," kata anggota majelis hakim Frangki Tambuwun pada sidang Kamis (20/7).
Untuk mendapat restu Setnov, maka hakim membenarkan fakta adanya pertemuan Setnov dengan Andi Agustinus, Irman, Sugiharto dan Sekjen Kemendagri saat itu yaitu Diah Angraini di Hotel Gran Melia Jakarta pada sekitar pukul 06.00 WIB. Dalam pertemuan itu Setya Novanto menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E. Setelah itu, Irman dan Andi Agustinus kembali menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR RI.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa I dan Andi Agustinus meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan KTP-E atas permintaan itu Setya Novanto mengatakan akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya," ucap hakim Frangki.
Tapi, menurut Frangki, realisasi pemberian uang ke orang-orang yang disebutkan namanya tersebut tidak diketahui oleh Irman. "Mengenai realisasi pembagian uang kepada pihak-pihak yang membantu dari laporan Sugiharto (Direktur PT Quadra Solutions) yang mendapat informasi dari Andi Agustinus bahwa untuk termin 1, 2, 3, 4 Anang Sugiharto sudah menyerahkan ke Andi Agustinus untuk diserahkan ke pihak-pihak di DPR, tapi apakah Andi Agustinus sudah menyalurkan secara langsung ke pihak-pihak di DPR itu, terdakwa 1 tidak mengetahuinya," ujar Frangki.
Artinya, tanpa BAP Miryam sebagai pihak yang membagi-bagikan uang menurut keyakinan penyidik dan JPU KPK dan tanpa diketahui oleh Irman serta Sugiharto, ditambah tanpa ada pengakuan dari pihak penerima uang, wujud serah terima uang itu masih belum bisa dibuktikan.