Sabtu 26 Aug 2017 15:08 WIB

Milisi Rohingya Versus Tentara Myanmar, 89 Tewas

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang tentara Myanmar tengah berjaga di bangunan yang rusak di Sittwe, Rakhine, Myanmar.
Foto: AP
Seorang tentara Myanmar tengah berjaga di bangunan yang rusak di Sittwe, Rakhine, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, MAUNGDAW -- Korban tewas dalam bentrokan di Negara Bagian Rakhine bertambah jadi 89 orang, termasuk 12 personel keamanan Myanmar. Jumlah ini merupakan yang tertinggi sejak konflik di wilayah ini pecah tahun lalu.

Konflik bermula dari kebencian yang diarahkan pada minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan. Dilansir dari Times of India, mereka banyak dicerca oleh umat Buddha setempat dan dianggap sebagai imigran ilegal.

Bentrokan terbaru yang terjadi pada Jumat (25/8) di kota Rathedaung, Rakhine, dimulai saat 20 pos polisi diserang pada dini hari oleh sekitar 150 militan Muslim Rohingya. Beberapa dari mereka membawa senjata api dan menggunakan bahan peledak buatan sendiri. "Anggota militer dan polisi melawan balik para teroris Bengali itu," kata Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing dalam sebuah pernyataan.

Kantor pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan 12 petugas keamanan dan 59 militan telah tewas. Seorang warga di Maungdaw, kota utama di Rakhine utara, mengatakan tembakan bisa terdengar di sepanjang malam saat bentrokan terjadi.

"Kami masih mendengar suara tembakan sekarang, kami tidak berani keluar dari rumah kami," kata warga tersebut yang meminta tidak disebutkan namanya. 

Meskipun telah bertahun-tahun dianiaya, sebagian besar warga Rohingya itu justru menghindari kekerasan. Namun sebuah kelompok militan yang sebelumnya tidak diketahui tiba-tiba muncul sebagai satu kelompok baru Oktober lalu di bawah panji Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Mereka mengklaim memimpin sebuah pemberontakan yang berbasis di pegunungan Mei Yu yang berbatasan dengan Bangladesh.

Myanmar mengatakan kelompok tersebut dipimpin oleh para milisi Rohingya yang dilatih di luar negeri, namun tidak jelas seberapa besar jaringan tersebut. Kantor Suu Kyi memasang gambar senjata yang disita dari militan, bom buatan, pisau serta tongkat rudimenter.

Bentrokan yang terjadi ini mendorong lebih banyak warga Rohingya untuk melarikan diri. Dua kapal berisi sekitar 150 wanita, anak-anak, dan orang tua dilaporkan mencoba menyeberangi sungai Naf ke Bangladesh, tapi mereka terdorong mundur. "Mereka takut. Kami merasa sakit untuk mengirim mereka kembali," kata seorang petugas Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB).

Bentrokan terjadi beberapa jam setelah mantan Sekjen PBB Kofi Annan merilis sebuah laporan yang merinci kondisi di dalam Rakhine. Ia menawarkan cara untuk meredakan ketegangan di sana. Dalam sebuah pernyataan Annan mengatakan dia sangat prihatin dengan pecahnya bentrokan terakhir.

Pejabat tinggi PBB di Myanmar, Renata Lok-Dessallien, meminta semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan, melindungi warga sipil, dan menjaga dan ketertiban. Perbatasan Rakhine yang paling dekat dengan Bangladesh telah di tutup sejak Oktober 2016.

Baca juga,  Aung San Suu Kyi: Tidak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement