Jumat 29 Sep 2017 20:20 WIB

Ini Hal yang tak Mungkin Dilakukan KPK Menurut Hakim Cepi

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang vonis praperadilan yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9).
Foto: Antara/Reno Esnir
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang vonis praperadilan yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Praperadilan yang dimohonkan oleh Setya Novanto, Cepi Iskandar, menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mungkin melakukan penyidikan hanya dalam waktu sehari usai penetapan tersangka terhadap Ketua DPR RI sekaligus Ketum Golkar itu. Pada hari ini, Cepi memutuskan untuk menerima permohonan praperadilan Novanto sekaligus membatalkan status tersangka Ketua Umum Partai Golkar itu.

Hakim dalam pertimbangan putusannya mengatakan, ketika menetapkan Novanto sebagai tersangka, KPK belum melakukan penyidikan dalam perkara a quo dan juga belum memeriksa calon tersangka, saksi, serta alat-alat bukti. "Karena, termohon (KPK) harus mempunyai waktu, dalam waktu yang singkat sejak 17 Juli 2017 untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, sesuatu hal yang tidak mungkin yang dilakukan oleh termohon," kata Hakim Cepi saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9).

Untuk diketahui, surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Novanto diterbitkan pada 17 Juli 2017. Saat itu juga, KPK langsung mengumumkan penetapan tersangka di muka media massa. Sementara, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli 2017.

Hakim Cepi dalam pertimbangannya juga menyatakan, penetapan tersangka Setya Novanto tidak sesuai prosedur sebagaimana KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan referensi lainnya. Hakim berpendapat, penetapan tersangka harus pada akhir penyidikan dan bukan pada awal penyidikan. Yaitu, setelah melakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka dan saksi-saksi yang lain.

Dalam penetapan tersangka, berdasarkan pertimbangan hakim, penyelidik dan penyidik harus menghindari sifat tergesa-gesa dan kurang cermat, yang sering kali membuat penegak hukum tergelincir pada pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti masa lalu. Adanya tahapan penetapan tersangka dalam KUHAP, dimaksudkan agar KPK menggunakan kewenangan dengan lebih berhati-hati karena dapat menjurus pada tindakan abuse of power. "Menimbang dari hal-hal tersebut bahwa dengan penetapan tersangka di akhir penyidikan maka hak-hak calon tersangka dapat dilindungi, dan untuk mengetahui apakah bukti itu valid apa tidak," kata hakim.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement