REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy hadir sebagai wakil dari DPR RI dalam sidang lanjutan judicial review terkait Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold), yang diajukan Partai Idaman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/10).
Dalam sidang, Lukman menjelaskan pemohon mendalilkan ketentuan pasal ini mengakibatkan ketua umum Partai Idaman mengalami kerugian terhalangi hak konstitusionalnya untuk memajukan dirinya sebagai Calon Presiden (Capres). Pemohon beralasan, hanya partai peserta Pemilu 2014 yang bisa mengikuti Pilpres 2019. Padahal, Lukman menegaskan Pasal 222 tidak membatasi partai yang dipimpin Rhoma Irama itu.
"DPR berpandangan dalil pemohon bersifat asumtif belaka. Pemohon IDAMAN tetap tidak dibatasi untuk diusulkan sebagai Capres apabila diusulkan Parpol atau gabungan Parpol yang memenuhi syarat berdasar UU," katanya.
Ia menjelaskan, presidential threshold sebesar 20 hingga 25 persen mengacu Pasal 6 huruf a ayat 2 UUD 1945. Lukman menjelaskan ketentuan ini memiliki tiga maksud. Seperti di antaranya, peserta yang diajukan bukan dari Parpol atau gabungan Parpol melainkan Capres dan Cawapres. Kedua, Parpol atau gabungan Parpol berperan sebagai pengusul Capres dan Cawapres dan ketiga, pengajuan Capres dilakukan sebelum Pemilu.
Dia mengatakan dengan Pemilu 2019 diadakan serentak, putusan MK Nomor 51-59/PUU/VI juga tidak menafsirkan apakah presidential treshold masih diperlukan atau tidak. Lukman menjelaskan presidential treshold tidak melanggar moralitas maupun moralitas. Lagipula, kata dia, aturan ini juga dipakai pada Pemilu lalu.
"Karena PT ini pernah dipakai dulu, kalau kita nyatakan melanggar azas rasionalitas, hati-hati lho, berarti putusan MK kemudian bisa balik dipertanyakan," katanya.
Lukman juga menambahkan tidak ada aturan yang diubah dalam verifikasi partai. Jadi verifikasi faktual yang harus dilalui partai baru, menurutnya, seharusnya tidak jadi masalah.
Selain Partai IDAMAN, pihak lain yang juga diketahui melakukan gugatan tentang presidential treshold ini, seperti Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dan advokat dari ACTA Habiburrokhman.