Jumat 20 Oct 2017 06:06 WIB
3 Tahun Jokowi-JK

Hubungan Densus Tipikor dan Kejagung

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bilal Ramadhan
Densus Anti-Korupsi (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Densus Anti-Korupsi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan alasan untuk penuntasan kasus yang lebih cepat, Polri merencanakan pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kendati sudah memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) yang bernaung di bawah Bareskrim Polri, penuntasan kasus tipikor di bawah Dittipikor dinilai kerap mandeg. Polri beralasan karena terbatasnya anggaran dan jumlah personel.

Polri menginginkan sebuah detasemen khusus tipikor dengan anggaran mandiri yang berbeda dan terpisah dari anggaran reserse. Bukan main-main, rencana anggaran ini mencapai Rp 2,64 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk belanja pegawai sebesar Rp 786 miliar dan operasional sebesar Rp 359 miliar. Sedangkan untuk belanja modal sebesar Rp 1,55 triliun.

Sejumlah pihak menilai anggaran ini terlalu besar dibandingkan anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi yang berada di kisaran 734,2 miliar. Namun, Polri membantahnya. Dijelaskan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, penganggaran ini dibutuhkan untuk penambahan personel. Pasalnya Polri membutuhkan sekitar 3650 personel untuk densus anti rasuah ini.

Dalam paparan ke Komisi 3 DPR RI pada Kamis (12/10), Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan, skema pembiayaan kasus oleh Densus Tipikor akan menggunakan sistem at cost. At cost atau biaya riil adalah biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah.

Lebih lanjut, Setyo Wasisto menjelaskan, skema pembiayaan Densus Tipikor ini terdapat sistem indeks per kasus, ada pula sistem at cost. Dengan sistem indeks, maka biaya diprediksi sejak awal, berapa jumlah yang dibutuhkan per kasusnya. Namun, at cost lebih diperhitungkan lantaran lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau kita mau berhasil ya dana itu memang harus at cost, pak Kapolri mintanya at cost. Kalau at cost hitungannya setiap kita bergerak kita dibiayai oleh anggaran," kata Setyo.

Kemudian, dengan anggaran ini, Polri berharap gaji yang diterima anggota densus sebesar anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setyo mengungkapkan, terdapat dua sistem gaji pula untuk penggajian ini. Terdapat gaji pokok yang dibayarkan tiap bulannya, ada pula remunerasi, yang merupakan hasil yang diberikan dari kasus yang diselesaikan. Selain itu, tunjangan kerja Polri menurut Setyo masih kecil.

"Dari kinerja itu ada perbedaan tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja kita itu baru 50 sekian persen, itu kecil sekali. Tunjangan kinerja polisi itu masih 54 atau berapa itu, tidak sampai 70 persen," kata Setyo.

Menurut Kapolri Jendral Tito Karnavian, secara teknis, Densus Tipikor nantinya akan dipimpin oleh perwira yang berpangkat Inspektur Jenderal. Kepala Densus (Kadensus) akan bertanggung jawab langsung di bawah komando Kapolri.

Sedangkan satuan tugas akan disebar ke seluruh wilayah Indonesia yang terbagi menjadi enam Satgas tipe A, 14 Satgas tipe B, dan 13 Satgas tipe C. Kapolri pun menyatakan tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan satuan anti korupsi lainnya.

"Tidak, tugas polisi ini sangat luas sekali, birokrat ini jumlahnya jutaan birokrat. Yang terkait dengan birokrat ada yang pengusaha dan lain lain, persoalannya mampu tidak KPK menyelesaikan semuanya," kata Tito.

Namun, ketika dikonfirmasi lebih lanjut, penentuan wilayah awal dan kewenangan Densus Tipikor masih abstrak. Polri menyatakan hal ini masih dikaji. "Masih dalam proses pembulatan, (intinya) sasarannya para koruptor yang berkaitan dengan uu korupsi, pasal dalam uu korupsi," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Rikwanto.

 

Berharap 'Merger' Dengan Kejaksaan Agung

Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta Kejaksaan Agung untuk mau bergabung bersama dalam Densus Tipikor. Menurut Kapolri, dengan integrasi tersebut, pemberkasan perkara menjadi lebih cepat. Sehingga penyelesaian perkara menjadi lebih cepat. "Supaya tidak bolak balik," kata mantan Kapolda Metro Jaya itu.

Namun, ajakan Kapolri itu tampaknya tidak langsung disambut oleh Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Prasetyo mengatakan, sinergisitas antar kedua belah pihak apabila Densus Tipikor dibentuk mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya untuk efektivitas, tetapi juga dimaksimalkan untuk mengetahui koridor masing-masing.

Menanggapi permintaan Kapolri, Jaksa Agung lebih memilih berpegang pada KUHAP yang saat ini berlaku. Polri bertugas pada lingkup penyelidikan dan penyidikan. Setelah itu, kejaksaan bekerja dalam lingkup penuntutan."Kita semua harus mengacu pada UU yang ada kita harus taat azas. Termasuk dalam penanganan hukum jangan sampai melanggar UU," jelas Prasetyo.

Kejaksaan sendiri sejak 2015 telah membentuk Satuan Tugas Khusus Penangganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) untuk menyelesaikan masalah korupsi. Dengan adanya Densus Tipikor, yang diharapkan Kejaksaan bukanlah suatu merger, melainkan penguatan pada kedua belah pihak. Tentu saja, tetap mengacu pada KUHAP yang berlaku.

Seperti diungkapkan Kapolri, Densus Tipikor akan bekerja dan kuat di wilayah dan daerah. Dengan demikian, Kejaksaan akan merespon permintaan tersebut dengan memperkuat Satgassus P3TPK di level yang sama.

"Makanya saya instruksikan untuk akan memperkuat jajaran Satgassus P3TPK di daerah tingkat kejari dan kejati. Jadi dengan demikian akan lebih sinergi," kata Prasetyo.

Di tingkat daerah itu pun, mekanisme bekerjanya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Densus bekerja melakukan penyidikan perkara korupsi melalui. "Kita terima penyidikan mereka untuk dilimpahkan di pengadilan," kata Prasetyo.

Dalam pandangan lain, penggabungan ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lebih lanjut soal kewenangan. Seperti diketahui, Densus Tipikor akan dipimpin oleh seorang perwira bintang dua (Inspektur Jenderal) yang notabene merupakan bagian dari penyidik. Sehingga, secara fungsional, bila digabung, penuntut berada di bawah koordinasi penyidik.

"Padahal fungsinya ada check and balance, ada mekanisme pangawasan. Kalau kepalanya penyidik itu sendiri, apakah pengawasan jadi objektif, ini mengangkangi sistem peradilan kita, bertentangan dengan KUHAP," tutur peneliti Mappi, Adery Ardhan Saputro.

Hal ini akan bertentangan dengan prinsip Kejaksaan sebagai Dominus Litis yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan. Karena itu, jika Densus Tipikor yang menggabungkan penyidikan dan penuntutan dibawah koordinasi dari Kepolisian, maka penuntut umum yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan secara horizontal terhadap penyidikan, menjadi tidak berjalan dengan semestinya.

"Penuntut umum yang seharusnya secara objektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan menjadi bermasalah, ketika atasan dari penuntut umum tersebut adalah anggota Polri," jelas Adery.

Dengan pengawasan penuntut umum yang tidak berjalan dengan semestinya, lanjut Adery, maka penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Densus Tipikor akan sangat rentan dengan kriminalisasi dan pelanggaran prosedural hukum acara pidana.

"Bahkan struktur ini akan semakin memperkuat serta memperbesar kewenangan kepolisian tanpa pengawasan yang kuat dan menimbulkan potensi kesewenangwenangan," kata dia.

 

Kaitan Dengan Pansus KPK

Rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi datang seiring dengan berjalannya Pansus KPK yang diusung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mengenai hal tersebut, Peneliti MAPPI Adery Ardhan Saputro mengingatkan agar pembentukan densus ini jangan sampai berkaitan dengan isu politis tersebut.

"Intinya yang harus diperhatikan jangan sampai Densus Tipikor ini jangan sampai terpengaruh isu politis, dengan isu pelemahan KPK, ini garis yang harus dipertahankan," kata dia.

Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan, rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) bukan untuk mengurangi kewenangan KPK maupun Kejaksaan Agung. Densus disebut Tito justru akan berkoordinasi dan menjadi penguat bagi keduanya.

"Kita sudah sampaikan. Ini bukan bertujuan bubarkan KPK, tidak juga mengurangi kewenangan kejaksaan," ujar Tito di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (16/10).

Kejaksaan, lanjut Tito, di luar tim yang sudah disiapkan untuk densus ini nantinya juga punya kewenangan penyidikan dan penuntutan seperti biasa. Sedangkan, dengan KPK, Densus Tipikor akan berbagu tugas.

"Hutan permasalahan korupsi kita ini luas sekali. Lihat saja lima belas tahun, sudah verapa ribu org di tangkap tapi juga belum selesai," kata dia.

Tito pun mengklaim tidak ada masalah ataupun penolakan dari pihak KPK. Hanya saja, pembagian tugas harus diatur sejelas mungkin. "Contohnya mungkin dari teman kpk yg menangani kasus yg high profile. Yg mungkin intervensi politiknya tinggi," lanjut Tito.

Sementara Densus Tipikor ini memiliki jangkauan tugas dari pusat sampai ke desa. Sedangkan menurut Tito, KPK akan sulit menangani hingga ke desa. Untuk itulah Densus Tipikor dipersiapkan Polri untuk menjangkau tindak pidana korupsi hingga ke level yang paling bawah.

 

Wacana Konsep Kepemimpinan Kolektif Kolegial

Mengantisipasi penolakan yang diajukan oleh Jaksa Agung, Tito juga mengajukan, Densus Tipikor tidak perlu satu atap dengan format Densus 88 Anti teror. Artinya, kejaksaan harus menyiapkan satgas khusus untuk berkoordinasi dalam pemberantasan korupsi.

"Seperti Densus 88, sudah ada Satgas penuntutan di Kejaksaan tujuannya agar tidak ada bolak balik perkara ketika berkas selesai," kata dia.

Tito memunculkan konsep kolektif kolegial. Dalam konsep ini, mekanisme kerja Densus Tipikor akan dikerjakan oleh tiga institusi. Dia mengungkapkan, mekanisme kerja densus ini akan dijalankan oleh Kejaksaan Agung, Polri dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut dia, konsep ini solusi supaya tidak mudah ditembus.

"Kalau pimpinan tunggal, dia diserang satu arah, diintervensi kasus satu orang, dia tidak bisa atasi sendiri," ungkap Tito.

Kendati demikian, bagaimana implementasinya nanti, menurut Tito masih dipikirkan. "Mungkin dibuat MoU atau apa," ujar dia. Format perjanjian itu sendiri pun belum diketahui dan masih dipikirkan oleh instansi-instansi terkait.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkapkan sejumlah kendala instansinya, Kejaksaan Agung dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kesulitan itu diantaranya dalam hal perizinan dan anggaran.

"Kendala kejaksaan. Berkaitan dengan dinamika norma hukum, putusan MK terhhadap objek praperadilan. Perubahan rumusan pasal dalam UU tipikor, khususnya pasal 2 dan 3 yang semula delik formil menjadi delik materil," ungkap Prasetyo.

Selain itu, keterbatasan anggaran kejaksaan juga menjadi kendala Kejaksaan Agung, Untuk pemenuhan sarana dan prasarana, rata-rata Rp 4,7 triliun dibutuhkan Kejaksaan Agung setiap tahun dan dalam RAPBN tahun ini 5,4 triliun. Untuk satu perkara dibutuhkan Rp 150 juta dimana operasional penuntutan tergantung pada jarak dan wilayah.

"51 persen untuk gaji pegawai, kita punya 10 ribu jaksa dan 3000 staf administrasi. Betapa kecilnya anggaran kejaksaan," ujar Prasetyo.

Keterbatasan kewenangan juga dialami Kejaksaan Agung. Pasalnya, menurut Prasetyo, Kejagung terikat rezim perizinan. "Semua perlu izin pengadilan untuk penggeledahan dan pemeriksaan, punya alat sadap tapi dibatasi penggunaannya," ungkapnya lagi.

Prasetyo mengakui, Kejagung sendiri menggantungkan harapan pada KPK yang memiliki kepercayaan masyarakat karena dukungan wewnang koordinasi dan supervisi. "Hanya saja, supervisi rasanya kurang bahkan belum pernah ada. Sesuai surat jampidsus, ada 10 perkara yang disupervisi dan koordinasi oleh KPK,Polri dan kejaksaan wajib patuh pada apa yang diinginkan KPK," kata Prasetyo.

Menyusul rencana dibentuknya Densus Tipikor oleh Polri, koordinasi antar lembaga anti rasuah pun harus ditekankan, yakni antara Satgassus P3TPK Kejagung, KPK dan Densus Tipikor itu sendiri. Melihat hal tersebut, Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Adery Ardhan Saputro menilai, KPK seharusnya menjadi pemimpin dalam hal koordinasi.

"Kalau kita lihatnya undang undangnya yang ada, kalau dalam hemat saya leadernya KPK. Sekalipun bukan KPK siapa?" kata Adery saat dihubungi, Senin (16/10).

Menurut dia, Jaksa Agung sejatinya paling optimal dalam hal koordinasi dan supervisi. Namun, di Indonesia, muara penuntutan tidak hanya di Kejaksaan Agung. "Di KPK saja ada lima, untuk urusan korupsi," kata Adery.

Adery melanjutkan, KPK sampai titik ini melakukan koordinasi dan supervisi dalam perkara korupsi. Adery mengacu pada UU 30 tahun 2002. Menurut UU tersebut, KPK memiliki tugas koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang serta penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

"Kalau ada densus Tipikor, KPK tetap harus sebagai lead-nya, sebagai koordinator dan supervisinya. Kalau negara lain jaksa Agung biasanya karena penuntutannya cuma satu," jelas Adery.

Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri belum bisa memastikan konsep Kolektif Kolegial serta Densus Tipikor itu maupun landasan hukum yang akan digunakan. Pihaknya masih akan melakukan FGD pada Senin (23/10).

"Kolektif Kolegial, jadi kalau satu atap ada polisi bintang dua, ada jaksa eselon satu, satunya BPK sehingga ganjil. Jadi kalau ambil keputusan tidak deadlock," jelas Tito. "Tujuannya Itu yang dipikirkan bagaimana kalau koleltif kolegial satu atap dengan kejaksaan. Mungkin semacam dibuat Mou atau apa," ungkap Tito.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement