REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menilai prestasi publikasi dan riset harus berdampak pada masyarakat.
"Produksi karya ilmiah satu hal, ada enggak dampaknya ke masyarakat," kata dia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).
Ia tidak menampik, tingginya jumlah publikasi bisa menjadi ukuran kualitas pendidikan nasional. Namun, menurutnya, publikasi karya ilmiah harus berdampak pada masyarakat.
Totok mengusulkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) memperbaiki kebijakan publikasi karya ilmiah. Menurutnya, pemerintah jangan mengejar kuantitas, tetapi juga dampak pada masyarakat.
"Kalau sekedar judulnya jumlahnya sekian, cek isinya apa hanya sekedar karya ilmiah," ujar dia.
Menurut Totok, publikasi karya ilmiah dan riset dapat fokus pada peningkatan ketahanan pangan, mengelola sumber daya alam, cara mengatasi banjir dan macet. "Kalau tak ada hubungannya ke masyarakat, enggak ada gunanya," jelasnya.
Totok menyebut budaya riset peneliti dan akademisi Indonesia belum kuat. Alasannya, minat baca dan kemampuan menulis rendah. Apalagi, memasyarakatkan dan menerjemahkan riset menggunakan bahasa awam pada pelajar.
Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan pemerintah mencapai hasil signifikan bidang publikasi. Ia menjabarkan jumlah publikasi pada 2015 sebanyak 8.098, 11.936 publikasi pada 2016, dan per Oktober 2017 sebanyak 12.077 publikasi.
Nasir mengatakan Indonesia berhasil menyalip publikasi Thailand per Oktober 2017. Apabila memperbandingkan negara ASEAN lain pada 2016, jumlah publikasi Indonesia 11.936, Thailand 14.436, dan Vietnam 5.678. Per Oktober 2017, jumlah publikasi Indonesia 12.077, Thailand 10.797, dan Vietnam 4.520.
Nasir mengatakan Kemenristekdikti menargetkan jumlah publikasi Indonesia mencapai 15 ribu - 16 ribu mengejar Singapura yang berada di atas Indonesia.