REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC -- Amerika Serikat telah mengumumkan menarik bantuan militer buat unit dan aparat Myanmar yang terlibat kekerasan terhadap Muslim Rohingya.
"Kami mengungkapkan keprihatinan kami yang paling serius dengan kejadian baru-baru ini di negara bagian Rakhine dan kekerasan traumatis yang dialami Rohingya," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert seperti dilansir The Guardian, Selasa (24/10).
Ia mengatakan, sangat penting bagi setiap individu atau entitas untuk bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan.
Washington memiliki batasan dalam keterlibatan dengan angkatan bersenjata Myanmar, dan juga embargo yang berlangsung lama untuk semua penjualan militer. Untuk itu penarikan bantuan militer berfungsi untuk memperkuat posisi tersebut.
Selain itu, pemerintah juga menghentikan pertimbangan keringanan perjalanan untuk pemimpin militer senior Myanmar, dan menimbang langkah-langkah ekonomi yang ditargetkan terhadap individu-individu yang terkait dengan kekejaman.
AS juga membatalkan undangan untuk anggota senior pasukan keamanan Myanmar dalam menghadiri acara yang disponsori AS. Amerika Serikat mendesak Myanmar membuka akses ke daerah-daerah yang terkena bencana untuk misi pencarian fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional dan media.
"Pemerintah Burma, termasuk angkatan bersenjata, harus segera mengambil tindakan untuk memastikan perdamaian dan keamanan dan menerapkan komitmen untuk memastikan akses kemanusiaan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan," kata Nauert.
Departemen Luar Negeri membuat pengumuman tersebut menjelang kunjungan presiden AS Donald Trump ke daerah tersebut awal bulan depan. Ini menandai tanggapan terkuat AS sejauh ini terhadap krisis Rohingya. Walaupun respon AS ini tidak seperti masa pemerintahan Obama yang memberi sanksi ekonomi.