REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto mengatakan, pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang menunjukkan secara nyata berjalannya politik transaksional, menyingkirkan politik rasional.
Ia menimbau pihak yang tidak setuju dengan pengesahan Perppu Omas menjadi undang-undang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Pengesahan itu mengabaikan semua argumen-argumen rasional yang melihat kelemahan Perppu tersebut, baik secara formil maupun secara materiil," kata Ismail melalui keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Sabtu (28/10).
Ismail berpendapat, secara formil tidak terdapat alasan yang bisa diterima bagi terbitnya Perppu itu. Tidak ada kegentingan yang memaksa Perppu tersebut harus ada.
Buktinya, 10 hari sejak diterbitkannya Perppu, tidak satupun tindakan pemerintah dilakukan berdasarkan Perppu tersebut. "Baru di hari ke-10, Perppu itu digunakan untuk membubarkan HTI tanpa alasan yang jelas," katanya.
Baca juga: Ahli: Pemerintah Harusnya Bina dan Kembangkan Ormas
Menurut Ismail, secara materiil, Perppu Ormas juga banyak mengandung masalah. Perppu ini secara nyata menghapus kekuasaan kehakiman.
"Ini bertentangan dengan prinsip keadilan hukum yang semestinya selalu menjadi tujuan dibuatnya peraturan perundangan," ungkapnya.
Padahal, Indonesia memiliki PTUN yang memungkinkan Ormas yang dibubarkan mengajukan gugatan atas pembubaran itu.
Pengadilan pembubaran berbeda dengan pengadilan gugatan PTUN.
"Pengadilan pembubaran adalah mengadili substansi, sedang PTUN adalah mengadili administrasi atau prosedur pembubaran," jelas Ismail.
Ismail pun menyatakan, Perppu Ormas juga melahirkan ketidakpastian hukum, terutama mengenai pengertian paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Ia mengkritisi penjelasan mengenai paham yang bertentangan dengan Pancasila dari Pasal 59 ayat 4 huruf c mengenai larangan Ormas menganut, mengembangkan dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Menurutnya, itu justru menimbulkan mutlitafsir.
"Ini sangat berbahaya karena Peppu bisa menjadi alat represifme penguasa dimana penguasa menjadi penafsir tunggal dari apa yang dimaksud paham yang bertentangan dengan Pancasila, sehingga bisa menciptakan extractive institution yang vandalisik," katanya.