REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pejabat di provinsi Chonburi, Thailand selatan bersiap menghadapi unjuk rasa lebih lanjut pada Rabu (1/11) setelah ratusan warga marah berkumpul sehari sebelumnya dalam unjuk rasa langka mengeluhkan birokrasi tidak berkompeten.
Warga mengeluhkan antrean panjang lebih dari 12 jam dan kekacauan umum di seputar kegiatan untuk menandai pemakaman Raja Bhumibol Adulyadej, yang diperabukan di Bangkok pada pekan lalu dalam pemakaman senilai 90 juta dolar Amerika Serikat. Unjuk rasa tersebut menentang larangan penguasa tentang pertemuan lebih dari lima orang, yang berlaku sejak kudeta pada Mei 2014.
Hal tersebut juga jarang terjadi karena sesuatu berkaitan dengan kerajaan adalah masalah rawan di Thailand, tempat anggota kerajaan dilindungi undang-undang keras pelecehan kaum ningrat, yang memidanakan semua dugaan penghinaan terhadap kerajaan. Meski begitu, unjuk rasa di Chonburi ditujukan pada pemerintah daerah, bukan istana.
Pengunjuk rasa di provinsi tepi laut itu berteriak "Keluar!" pada Selasa karena mereka menuntut gubernur provinsi Pakarathon Tienchai turun dari jabatannya pada apa yang mereka katakan sebagai penyelenggaraan upacara yang buruk untuk menandai pemakaman tersebut.
Banyak dari demonstran memakai pakaian warna kuning, yang indentik dengan warna almarhum sang raja. Terdapat seruan serupa untuk gubernur provinsi Nonthaburi, utara dari Bangkok, untuk mundur. Beberapa demonstran di Nonthaburi melaporkan, mereka harus menunggu hingga delapan jam untuk meletakkan bunga untuk mendiang raja.
Gubernur Chonburi Pakarathon berbicara kepada kerumunan orang pada Selasa dan menolak stafnya telah melakukan kesalahan dalam mengatur acara tersebut.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Selasa mendesak warga Thailand memaafkan mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan pemakaman dan mengabaikan masalah yang muncul. "Jumlah yang ikut dalam pemakaman menyebabkan beberapa masalah," katanya.