Rabu 08 Nov 2017 11:09 WIB

Penganut Sunda Wiwitan Diperkirakan Masih Ada 100 Ribu Orang

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
Warga di Kesepuhan Cisungsang, Lebak, Banten, mayortas adalah penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Warga di Kesepuhan Cisungsang, Lebak, Banten, mayortas adalah penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Jawa Barat, segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk merumuskan realisasi kolom agama bagi penghayat kepercayaan dalam dokumen kependudukan. Menurut Kepala Disdukcapil Jabar, Abas Bashari, koordinasi tersebut harus dilakukan karena saat ini statusnya telah disahkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

"Kami pun akan berencana menggelar pertemuan dengan pemerintah pusat untuk menentukan langkah-langkah yang ditempuh," ujar Abas kepada wartawan, Selasa malam (8/11).

Abas mengatakan, hingga saat ini ia belum mendapat informasi dari pemerintah pusat terkait realisasi kolom untuk penghayat kepercayaa tersebut. Namun, ia akan segera melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk membahas kolom agama bagi penghayat kepercayaan. "Rumusan matang sangat penting, mengingat jumlah warga yang menganut penghayat kepercayaan jumlahnya tidak sedikit," katanya.

Menurut Abas, salah satu penghayat kepercayaan yang ada di Tanah Air adalah Sunda Wiwitan. Ajaran ini, dapat ditemukan di beberapa desa di Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak Banten, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok Sukabumi, Kampung Naga Cirebon, dan Cigugur Kuningan dan Kabupaten Bogor.

Namun, kata dia, tak ada yang tahu pasti jumlah penghayat Sunda Wiwitan saat ini. Diperkirakan jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. "Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlahnya bisa mencapai 100 ribu orang," katanya.

Abas menilai, adanya keputusan MK tersebut akan memudahkan pekerjaan petugas dinas kependudukan dalam menyelesaikan proses administrasi warga. "Kalau dulu kan banyak penolakan. Diisi agama tertentu mereka tidak mau, inginnya dikosongkan," katanya.

Saat ditanya tentang realisasi proses pencatatan para warga penghayat kepercayaan ini, Abas mengaku belum bisa menjelaskan detail realisasinya. Karena, harus dibahas lagi. "Tapi yang jelas, pencatatan (di kolom agama bagi penghayat kepercayaan) akan efektif tahun depan," katanya.

Perlu diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal itu diatur dalam pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.

Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. N Arie Lukihardianti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement