Rabu 08 Nov 2017 16:19 WIB

Soal Kolom Agama Dinilai Bisa Munculkan Banyak Kekhawatiran

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andi Nur Aminah
Seorang warga adat Dayak Meratus menunjukkan KTP dengan kolom agama yang dikosongkan.
Foto: Pandiran Getek (ejhonski.cc.co)
Seorang warga adat Dayak Meratus menunjukkan KTP dengan kolom agama yang dikosongkan.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI, Achmad Baidowi secara pribadi menyampaikan kekhawatirannya terhadap putusan MK terkait penambahan kolom agama kepada para penghayat kepercayaan. Menurutnya, hal tersebut rentan disalahgunakan oleh orang-orang yang beragama namun secara sengaja mengganti menjadi penghayat kepercayaan untuk menghindari kewajiban beragamanya.

"Itu sih perkiraan saja untuk mengantisipasi, ketika seseorang mengganti aliran kepercayaan walaupun jati dirinya sebenarnya seorang Muslim gitu kan, secara formal kan enggak bisa diapa-apain," ujar Achmad di Nusantara III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (8/11).

Kekhawatiran lainnya, Achmad menyebutkan seperti terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat. Pasalnya menurut Achmad, masyarakat di bawah banyak yang belum siap berbeda. "Menanggapi perbedaan kadang tanggapannya beragam, dan itu yang saya khawatirkan," katanya

Achmad juga mengatakan, kalau dilihat dari aspek kependudukan, kemungkinan pertimbangan MK adalah karena persoalan HAM, dan persoalan kesempatan. Namun jika dikaitkan dengan negara Indonesia yang berketuhanan, menurutnya justru terkadang menjadi masalah.

"Satu hal lagi yang kita khawatirkan, jangan sampai paham-paham agama atau paham lain yang dilarang di Indonesia berkedok aliran kepercayaan. Misalkan orang yang menganut aliran komunisme, supaya enggak terdeteksi ya udah isi saja aliran kepercayaan. Kan enggak ada yang melarang kalau kayak gitu," ucap Achmad.

Sementara itu Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah tidak mempersoalkan ketika seseorang memanfaatkan kondisi tersebut untuk tidak mencantumkan agama. "Tidak ada masalah, kalau ada orang yang mau mengidentifikasi dirinya menjadi penghayat, silakan saja, tidak ada masalah. Memang apa masalahnya?" tanya Fahri kepada pewarta.

Namun meskipun begitu, Fahri menilai putusan MK tersebut perlu diatur secara lebih teknis dan soal definisi agar tidak menimbulkan konflik. "Konflik ini yang berbahaya terutama kalau sudah ada pelintas batas. Pelintas batas itu maksudnya orang yang mengajak kepada kelompoknya, agamanya, alirannya dan itu yang menimbulkan konflik," ungkap Fahri.

Namun kalau hanya sekadar hak untuk memilih, itu sah-sah saja. Fahri mengatakan, pilihan itu sifatnya pribadi dan tidak boleh dipaksa-paksa. "Dalam agama Islam juga itu enggak boleh memaksa, tidak boleh memaksa orang dalam beragama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement