REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memasukan penganut aliran kepercayaan dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk merupakan langkah positif dalam administrasi kependudukan. Ia pun menilai tidak ada masalah dengan masuknya aliran kepercayaan di kolom agama pada KTP.
"Pencantuman aliran kepercayaan itu positif untuk proses administrasi karena di negara kita faktor-faktor agama dan identitas agama dianggap penting. Jadi pencantuman itu tidak ada masalah, namun justru positif," kata Fahri di Gedung Nusantara III, Jakarta, Rabu (8/11).
Fahri mengatakan, keputusan MK itu artinya setingkat undang-undang maka harus diterima bahwa faktanya ada masyarakat yang tidak memilih agama formal yang sudah ada. Menurut dia, kalau saat ini penganut menjadi bagian dari pilihan agama yang legal artinya keputusan MK setingkat UU itu harus diterima.
"Tidak ada masalah, kalau ada orang yang mau mengidentifikasi dirinya menjadi penghayat silakan aja, tidak ada masalah," ujarnya.
Namun Fahri menyarankan harus ada filter terkait definisi aliran kepercayaan sehingga harus diatur secara teknis karena kalau tidak, dikhawatirkan menimbulkan konflik.
"Dan itu yang berbahaya terutama kalau sudah ada pelintas batas," ucapnya.
Dia menjelaskan, pelintas batas itu adalah orang yang mengajak kepada kelompoknya, agamanya, alirannya dan hal itu yang menimbulkan konflik. "Hak untuk memilih, kita sebagai bangsa dengan konstitusi kita yang ada sekarang itu harus menerima kalau hak memilih itu sah. Pilihan itu sifatnya privat tidak boleh dipaksa-paksa," katanya.
Dia menyatakan, Bangsa Indonesia harus dewasa dan maju terkait pilihan seorang sehingga yang perlu dilakukan adalah mengaturnya lebih rinci sehingga jangan sampai ada pelintas batas yang dikhawatirkan memunculkan masalah.
Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata "agama" yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan".
"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).
Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan kata 'agama' dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
Majelis hakim juga menyatakan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat pemohon, yakni Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim.