REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, saat ini posisi Partai Golkar semakin terpuruk lantaran masalah hukum yang dihadapi oleh Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Menurut Ujang, Novanto tidak akan bisa menghindar lagi dari jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Harusnya dari tadi malam Novanto sudah dijemput paksa oleh KPK, namun entah bagaimana dia bisa lolos," kata Ujang, Kamis (16/11).
Atas adanya penjemputan paksa terhadap Novanto, menurut Ujang menjadikan Golkar saat ini berada di ujung tanduk. Alasannya, seluruh rakyat Indonesia sudah tahu dan terpolarisasi dalam kesadarannya bahwa ketua umumnya diduga terlibat kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
"Dengan pemberitaan media yang sangat luar biasa, nama Golkar sudah busuk karena Novanto ini," ucap Ujang.
Menurut Ujang Golkar harus segera diselamatkan dari degradasi. "Golkar itu partai besar, partai mapan dan partai yang sudah berpengalaman. Saya yakin Golkar bisa menyelesaikan itu," kata Ujang.
"Golkar harus berani mengambil keputusan, meskipun langkah paling berat harus ditempuh. Jika tidak bahaya, Golkar bisa hancur berkeping-keping," tambahnya.
Diketahui, tim penyidik KPK masih kesulitan menemukan Ketua DPR Setya Novanto, setelah dikeluarkannya surat perintah penangkapan, Rabu (15/11). Sejumlah penyidik lembaga antirasuah sudah mendatangi rumah Novanto untuk menjemputnya pada Rabu (15/11) hingga Kamis (16/11) dini hari.
Saat tim penyidik KPK mendatangi rumah Novanto hanya ada keluarga dan pengacara. KPK pun mengimbau Novantountuk menyerahkan diri agar memudahkan penanganan kasus korupsi proyek KTP-elektronik.
Sebelumnya, pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya. Lembaga antirasuah itu menduga Novanto terlibat proyek KTP Elektronik ketika dia menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun Novanto juga diketahui mangkir untuk kesekian kalinya dari pemeriksaan KPK. Setelah tiga kali mangkir sebagai saksi.