REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mendeklarasikan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebagai upaya pencegahan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.
"Melalui Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak ini diharapkan kesadaran masyarakat semakin tinggi dan tidak ada lagi orang tua yang menikahkan anak-anaknya di usia sangat muda," kata Asdep Pengasuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Deputi Bidang Tumbuh Kembang KPPPA Rohika Kurniadi Sari di Indramayu, Sabtu (18/11).
Dia mengatakan perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya.
"Perkawinan anak merugikan masa depan anak," tuturnya.
Rohika mengatakan terjadi penurunan kasus perkawinan anak yaitu di tahun 2013 jumlahnya sekitar 43,19 persen dan berkurang menjadi 34,23 persen pada tahun 2014 namun penurunan itu secara kuantitatif belum signifikan.
Rohika juga mengatakan target jangka panjang dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak itu adalah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
"Rencananya kami akan menaikkan usia anak yang bisa menikah dari sebelumnya 16 tahun menjadi 18 tahun. Meskipun sebenarnya usia yang ideal bagi seorang untuk menikah adalah usia 21 tahun," tuturnya.
Kegiatan roadshow" yang dilakukan di lima kota itu diharapkan dapat mengubah pola pikir para pengambil keputusan maupun masyarakat yang masih mengizinkan perkawinan anak karena bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi negara, masyarakat bahkan bagi anak itu sendiri beserta keluarganya.
Dia menambahkan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak itu akan dilakukan sepanjang bulan November-Desember. Setelah Jawa Barat, kampanye Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak akan dilaksanakan di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan yang terakhir di NTB.