REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, penetapan tersangka serta penahanan terhadap Ketua DPR Setya Novanto bisa menjadi pintu masuk untuk memastikan penuntasan kasus dugaan korupsi proyek KTP-El. Lucius mengatakan, KPK masih punya tanggung jawab untuk membuktikan keterlibatan politikus-politikus lain di DPR, yang namanya sempat disebut dalam persidangan sebelumnya.
"Ada begitu banyak nama yang diduga terlibat dalam prahara KTP-El ini. Dan tentu saja jika peran Setnov menjadi kunci, maka kepastian akan dugaan keterlibatan politisi-politisi lain di DPR maupun eksekutif harus juga secepatnya diproses oleh KPK," ujarnya, Senin (20/11).
Lucius mengatakan dengan melakukan penahanan terhadap Setya Novanto, KPK mau membuktikan bahwa semua sama di depan hukum. Siapa saja bisa ditersangkakan oleh KPK hingga menahannya jika ada bukti yang menunjukkan dugaan keterlibatan seseorang.
"Dengan ditahannya Novanto, kepastian hukum khususnya dalam konteks penegakannya bisa dilakukan dalam situasi yang kondusif. Mereka yang dengan segala macam cara ingin bersembunyi di balik kekuasaan untuk meluputkan diri harus sadar bahwa itu semua tak akan membuat KPK terhenti untuk memproses mereka jika ada bukti," katanya.
Proses penahanan Novanto juga harus disusul dengan proses pemberhentiannya dari DPR. Tentu saja tanpa mengurangi bunyi UU yang menyatakan bahwa pemberhentian baru bisa dilakukan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap, publik menilai bahwa rangkaian proses penegakan hukum terhadap Novanto sekaligus menampar kehormatan lembaga DPR yang terhormat.
Lucius melanjutkan, apa yang diperlihatkan Novanto sejak upaya penangkapan oleh Penyidik hingga dia beristirahat di Rumah Sakit semuanya kental memperlihatkan semangat ketidakpatuhan terhadap proses hukum. Wajar saja jika publik malah lebih merasa geli ketimbang haru menyambut kabar tentang kecelakaan yang dihadapi oleh Novanto setelah seharian dicari oleh penyidik KPK.
"Dari perilaku yang ditunjukkan secara telanjang ke publik, kelihatan betul bagaimana kehormatan DPR justru ditampar sendiri oleh salah seorang yang menjadi Ketua di lembaga DPR tersebut," tuturnya.
Lucius menilai, jika publik sudah menilai Novanto tidak menghormati lembaga, maka seharusnya menjadi alasan bagi DPR umumnya dan MKD khususnya untuk segera merespons. Respons yang normatif dengan mengacu pada UU semata jelas bukan jalan terbaik untuk mengembalikan martabat lembaga ke jalan yang terhormat.
"DPR harus bisa melampaui apa yang diatur UU dengan menjadikan etika dan norma sebagai acuan untuk menilai aksi Setnov yang diduga menciderai kehormatan parlemen. Jika etika yang diacu maka nampak bahwa tak ada alasan untuk terus membela Setnov hanya karena dia belum berstatus terdakwa. MKD harusnya bisa memunculkan inisiatif untuk menguji perilaku Novanto melalui proses sidang etik," jelasnya.