REPUBLIKA.CO.ID, PHNOMPENH -- Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada Ahad (26/11) meminta penutupan salah satu kelompok utama hak asasi manusia negara tersebut karena didirikan oleh pemimpin oposisi Kem Sokha yang ditahan.
Tindakan keras Hun Sen, perdana menteri dengan jabatan terlama di dunia, terhadap kritik menyebabkan pembubaran partai oposisi utama dan mengekang beberapa media mandiri, yang memicu kritik pemodal Barat.
"Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja (CCHR) harus ditutup karena dibuat orang asing, bukan orang Kamboja. Kementerian Dalam Negeri harus melihat ini," kata Hun Sen kepada sekelompok pekerja busana.
Hun Sen menggambarkan oposisi tersebut sebagai "anak-anak" Amerika Serikat dan mengatakan ia menyampaikan hal itu kepada Presiden AS Donald Trump saat mereka bertemu di Filipina pada awal bulan ini. CCHR didirikan Kem Sokha pada 2002 sebelum kembali ke karier politik pada 2007.
Kem Sokha ditangkap pada September dan didakwa melakukan pengkhianatan karena sebuah tuduhan diajukan untuk mengambil alih kekuasaan dengan bantuan AS. Partai Penyelamatan Nasional Kambojanya dibubarkan pada 16 November oleh Mahkamah Agung, yang bertindak sesuai permintaan pemerintah.
Kem Sokha telah menolak tuntutan tersebut terhadapnya, di mana oposisi meminta taktik untuk memastikan Hun Sen memperpanjang kekuasaan selama tiga dasawarsa dalam pemilihan tahun depan.
Negara-negara Barat telah mengutuk tindakan keras tersebut. AS telah menghentikan pendanaan untuk pemilihan tersebut dan Uni Eropa telah meningkatkan ancaman potensial terhadap akses bebas Kamboja jika tidak menghormati hak asasi manusia.
Hun Sen menolak kritik tersebut. Pemodal terbesar Kamboja sekarang adalah China, yang menyuarakan dukungan untuk langkah menjamin stabilitas.