REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Anggaran DPR RI Aziz Syamsuddin menuturkan, dalam waktu dekat, Ketua DPR Setya Novanto bakal mengundurkan diri. Dia menuturkan, Novanto saat ini masih mencari waktu yang pas untuk menyatakan diri mundur sebagai ketua DPR untuk kedua kalinya. Dalam waktu dekat, kata Aziz, rencana untuk mundur Novanto direalisasikan.
"Salah satunya, iya (pengunduran diri Setnov dari Ketua DPR). Saya rasa, kalau untuk DPR, terakhir diskusi dengan beliau dia sedang mencari hari bulan dan tanggal yang tepat," tutur Azis kepada wartawan di Jakarta, Ahad (3/12).
Azis yang juga kolega Novanto di partai beringin ini mengaku tidak mengetahui alasan Novanto akhirnya bersedia mengundurkan diri. Padahal, sebelumnya, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novanto tegas menyatakan tetap ingin memertahankan posisi ketua DPR RI. "Yang tahu dia (Novanto)," kata Aziz.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan, posisi ketua DPR sampai saat ini masih dijabat Setya Novanto. Dia menuturkan, posisi Novanto bisa diganti jika yang bersangkutan mengundurkan diri. Fadli mengklaim, seluruh pimpinan DPR tidak dapat mendesak Novanto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua DPR.
"Kami tidak punya kewenangan untuk meminta dia mundur. Kami bekerja berdasarkan UU, bukan berdasarkan suka tidak suka, senang tidak senang. Koridor yang mengatur adalah UU," ujar Fadli.
Menurut Fadli, berdasarkan UU, ketua DPR bisa diganti kalau meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diganti oleh fraksinya. Opsi yang ketiga, merupakan wewenang internal Partai Golkar untuk mengganti Setya Novanto.
Dia menyerahkan pergantian tampuk kursi ketua DPR kepada Setya Novanto dan partainya yang memiliki hak tersebut. "Hak Pak SN (Setya Novanto). Kalau misal begitu, berarti akan ada perubahan kepemimpinan dari fraksinya, kalau ada. Tapi, kalau tidak ada, ya tetap," katanya.
Meskipun belum ada penggantian posisi ketua DPR, Fadli mengaku, tugas kepemimpinan DPR RI masih dapat berjalan dengan baik. Tugas pimpinan yang kolektif dan kolegial, kata Fadli, dapat diatasi dengan baik karena sudah dibagi per bidang.
"Saya kan wakil ketua Bidang Korpolkam (Koordinator Politik dan Keamanan), Pak Agus Korinbam (Industri dan Pembangunan), Pak Fahri Hamzah Bidang Korkestra (Kesejahteraan Rakyat), Pak Taufik Korekku (Ekonomi dan Keuangan). Jadi, kalau sisi pekerjaan tidak masalah," tuturnya.
Terkait dengan posisi Setya Novanto sebagai tersangka kasus KTP elektronik, Fadli dan pimpinan legislatif lainnya menyerahkan hal tersebut sesuai dengan proses hukum yang ada. "Kita lihat saja perkembangannya. Kalau kerjaan sebagai institusi DPR, bisa kita laksanakan," tegasnya.
Ketua partai
Ketua DPP Partai Golkar Aziz Syamsuddin menyatakan, saat ini, seluruh pihak di Golkar sedang berkonsentrasi untuk mencari alternatif terbaik, termasuk soal nasib Novanto. Baik sebagai ketua DPR RI maupun sebagai ketua umum partai beringin. Terkait rencana penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub), Aziz menuturkan, semua harus sesuai dengan aturan yang berlaku di internal partai.
Menurutnya, DPP tidak akan menjadikan usulan dan desakan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I sebagai pijakan. Sebab, munaslub harus melalui kesepakatan rapat pleno DPP dengan usulan resmi dan tertulis dari dua per tiga seluruh DPD Tingkat I. Terlebih, jumlah pemegang suara di Golkar sekitar 528 suara ditambah 10 organisasi masyarakat dan DPP.
"Ini fungsinya DPP untuk menjembatani dan mencari yang terbaik. Jadi, tidak menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua DPD Nusa Tenggara Timur (NTT) Melki Laka Lena mengaku ada pernyataan terpercaya dari orang dekat Novanto yang menyatakan bahwa ketua umum Golkar tersebut akan meletakkan jabatannya. Melki mengaku, sudah mendengar kabar mundurnya Novanto dari kursi orang nomor satu di Golkar sejak tengah pekan kemarin. “Kita tunggulah, mudah-mudahan pekan depan ada kepastian,” ujarnya.
Terpisah, Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi menilai, ada perubahan arah yang mendorong Golkar untuk membenahi diri. Dulu, pada 1999 dan 2004 perubahan dilakukan oleh sejumlah kader mumpuni, seperti Akbar Tandjung. Tetapi, perubaahan saat itu tak didukung oleh masyarakat luar. Artinya, masyarakat tetap masih tak percaya pada Golkar.
"Tetapi, saat ini, di 2017, justru masyarakatlah yang memberi kepercayaan kepada Golkar untuk melakukan perubahan," ujar Dedi.
Bupati Purwakarta ini menegaskan, munaslub harus menjawab keinginan publik terhadap Golkar. Terlebih, perubahan ini diharapkan oleh publik. Dengan begitu, momentum Munaslub nanti harus bisa dimanfaatkan oleh seluruh kader partai untuk memerbaiki citra partai.
"Kita ingin Golkar saat ini menjadi partai yang luar biasa. Namun, akan tergantung terhadap pimpinan Golkar nantinya," ujarnya.
Dedi ingin, perubahan pada Golkar setelah Munaslub bisa mendongkrak elektabilitas partai lagi. Terutama, di Pilpres 2019 mendatang. (Pengolah: Agus Raharjo).