Kamis 14 Dec 2017 16:21 WIB

Keputusan OKI Pukulan Telak Buat Trump

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo (dua kanan) dan para pemimpin/ kepala negara Organisasi Islam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berfoto bersama di Istambul, Turki, Rabu (13/12).
Foto: Antara/Reuters/Osman Orsal
Presiden Joko Widodo (dua kanan) dan para pemimpin/ kepala negara Organisasi Islam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berfoto bersama di Istambul, Turki, Rabu (13/12).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Deklarasi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) merupakan titik balik bagi Palestina dan pukulan telak bagi keputusan Presiden AS Donald Trump atas status Yerusalem. Hal ini diungkapkan kepala Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), Nihad Awad.

"Deklarasi terakhir Presiden Turki Erdogan dan OKI di Istanbul yang mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina adalah satu hasil yang jelas, yang sekarang telah memicu kampanye internasional untuk melawan keputusan Trump," kata Awad di Global Policy Institute, sebuah lembaga think tank di Washington, Rabu (13/12).

OKI merupakan organisasi yang didirikan dalam pertemuan bersejarah di Rabat, Maroko, pada 1969, setelah sebuah serangan pembakaran di Masjid Al-Aqsa di Yerusalem yang diduduki. Organisasi ini mengeluarkan sebuah deklarasi pada Rabu (13/12) untuk mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Deklarasi Istanbul yang disebut 'Freedom for Jerusalem' dikeluarkan dalam KTT Luar Biasa OKI di Istanbul. "Deklarasi OKI harus dianggap serius, mereka mewakili 57 negara," ujar Awad, dikutip Anadolu.

Ia berharap masyarakat internasional akan mendukung deklarasi tersebut dan mendorong pihak lain, termasuk Uni Eropa. Uni Eropa dapat memainkan peran yang lebih konstruktif dalam menengahi proses perdamaian jauh lebih baik dari AS.

Berbicara dalam KTT tersebut, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga meminta kekuatan dunia untuk mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Menurutnya, AS harus membalikkan keputusannya yang mengerikan dan provokatif.

Awad juga yakin masyarakat internasional akan mengikuti seruan Erdogan, yang juga akan mendorong kekuatan lain seperti Rusia dan Cina, untuk melawan keputusan AS.

Menurut Awad, AS tidak pernah menjadi perantara jujur antara Palestina dan Israel. Sebaliknya, AS diduga telah mendukung pendudukan Israel dan mendanai otoritas Israel dengan uang miliaran dolar.

Pakar dan analis yang berbicara di panel yang sama, Martin Sieff, mengatakan pertemuan di Istanbul memiliki kepentingan besar dan dapat membawa perkembangan baru di wilayah tersebut. Ia mencatat Yerusalem yang damai di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman 400 tahun lalu.

"Pertemuan ini akan beresonansi selama bertahun-tahun. Konsekuensi dari pertemuan ini, implikasi politis, strategis, dan diplomatik dari pertemuan ini juga akan menjadi konsekuensi terbesar dan dapat memimpin penataan kembali kawasan ini," papar Sieff.

Presiden Dewan Pengawas Jaringan Global Bahcesehir University, Enver Yucel, mendefinisikan keputusan Trump sebagai pelanggaran terhadap undang-undang internasional. Ia mengecam pemerintahan Trump karena telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement