REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil menyayangkan Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang menolak perluasan delik perzinahan dan LGBT. Menurutnya, keengganan mayoritas hakim konstitusi yang tidak mau memperluas penafsiran delik perzinahan dan LGBT sebagai bentuk inkonsistensi dan ancaman yang berbahaya bagi Indonesia sebagai negara berketuhanan berdasarkan Pancasila.
Menurut dia, ada hal berbahaya yang muncul dari putusan MK tersebut, yakni seolah-olah LGBT, kumpul kebo dan delik perzinahan dinyatakan konstitusional. Hal ini, menurut dia, jelas berbahaya, karena tidak sesuai dengan konteks negara Indonesia yang berketuhanan berdasarkan Pancasila.
"Khususnya jika tidak membaca secara utuh dan menyeluruh dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016. Di sinilah lima hakim konstitusi yang menyatakan menolak permohonan ini tidak sensitif," kata Nasir kepada Republika.co.id, Kamis (14/12).
Menurut Politisi Aceh tersebut, jika Putusan MK No. 47/PUU-XIV/2016 dibaca utuh, semua hakim konstitusi secara substansi sebenarnya setuju soal perlunya pembaharuan delik perzinahan maupun LGBT. Namun sayangnya lima hakim konstitusi yang menjadi mayoritas menolak perluasan pasal-pasal perzinahan dan LGBT melalui MK, kata dia, bukan menolak substansi bahwa perzinahan seperti kumpul kebo dan LGBT tidak dapat dipidana.
Para hakim tersebut, menurutnya, membatasi dirinya untuk tidak membuat hukum baru dalam KUHP warisan Belanda yang saat ini masih berlaku, dan lebih menyerahkan kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
"Ada inkonsistensi dari lima hakim konstitusi tersebut, seolah-olah membatasi diri dengan konsep judicial restraint, dan tidak mau membuat norma baru dalam bentuk penafsiran karena MK berposisi sebagai negative legislator," katanya.
Padahal, Nasir menambahkan, MK sudah sangat sering membuat putusan yang memperluas makna suatu pasal dan bahkan seolah-olah membuat norma baru. Sehingga berposisi sebagai positive legislator.
Dia mencontohkan dalam putusan MK terkait hak dan kedudukan anak luar perkawinan, putusan MK terkait penggunaan KTP/Paspor sebagai dasar memilih, dan lain-lain. "Karena itu, putusan MK No. 47 ini adalah bentuk inkonsistensi yang patut disesalkan," tambah Nasir.
Nasir Djamil yang juga masuk dalam Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP di DPR ini menyatakan akan benar-benar mengawal pembahasan pasal-pasal berkaitan dengan perzinahan dan kesusilaan khususnya LGBT. Menurutnya hal tersebut adalah tanggungjawab bersama sebagai upaya menjaga Pancasila sebagai nilai adiluhur bangsa yang harus tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam rancangan KUHP yang diajukan Pemerintah ke DPR tahun 2015 lalu, draft berkaitan dengan perzinahan sudah diperluas, namun soal LGBT belum. Karena itu dari awal kami fokus bahwa LGBT termasuk tindakan yang dapat dikriminalisasi dalam KUHP. Ini yang akan terus dikawal Komisi III.