REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Amirsyah Tambunan, menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak mengadili gugatan mengenai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Amirsyah mengatakan, perbuatan LGBT merupakan suatu prilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Dimana, kata Amirsyah, HAM tersebut melindungi hak-hak warga negara yang sesuai dengan konstitusi.
"Karna HAM di Indonesia itu adalah HAM konstitusional. Ham konstitusional itu tujuannya untuk menghargai hak-hak orang lain untuk ketertiban umum," kata Amirsyah yang juga merupakan Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (15/12).
Ia mencontohkan, dalam undang-undang perkawinan, yang disebut pasangan adalah antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, tambah Amirsyah, pasangan sesama jenis atau LGBT tidak bisa disebut sebagai pasangan.
"Dalam undang-undang perkawinan yang dimaksud itu laki-laki dan perempuan. Justru kalau pasangan sesama jenis itu melanggar undang-undang," tambah Amirsyah yang juga merupakan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Untuk itu, Amirsyah mengatakan, perlu adanya terapi psikologis terhadap pelaku LGBT tersebut. Sebab, hal tersebut merupakan prilaku menyimpang yang bertentangan dengan UU dan HAM. "Prilaku LGBT itu kan prilaku seks menyimpang, maka sebenarnya pertama-pertama yang dilakukan adalah terapi oleh dunia medis, dunia psikologi. Kenapa prilaku seks menyimpang itu terjadi," tambahnya.
Sebelumya diberitakan,Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi ketentuan Pasal Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga permohonan para Pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.
MK berpendapat gagasan pembaruan yang ditawarkan oleh Pemohon, seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang. Mengenai dalil Pemohon yang menyebutkan adanya kerusakan sistem tatanan sosial akibat perbuatan zina ataupun penyuka sesama jenis akibat kekosongan hukum. MK berpendapat kekosongan demikian seharusnya diisi melalui proses legilasi oleh pembentuk undang-undang.