REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-XIV/2016 terkait uji materi Pasal Kesusilaan terdapat perbedaan pendapat di antara para hakim. Ada empat dari sembilan hakim konstitusi yang berpandangan berbeda meskipun pada akhirnya diputuskan MK menolak permohonan uji materi pasal tersebut.
"Jika eksistensi Pasal 284 KUHP tetap dipertahankan sebagaimana adanya, maka kewibawaan supremasi konstitusi dan hukum di Indonesia akan sangat terancam," ujar Hakim Anggota Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan dissenting oppinion di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (15/12).
(Baca: PKS: Bagaimana Bisa Bangsa Ini Biarkan Zina dan Kumpul Kebo?)
Menurut para hakim yang berbeda pendapat itu, ancaman itu dapat terjadi ketika suatu undang-undang (UU) yang selalu memuat frasa "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa" justru mencantumkan norma hukum yang bertentangan. Atau paling tidak mempersempit dan mereduksi ruang lingkup ketercelaan suatu berbuatan yang telah digariskan secara jelas menurut hukum Tuhan.
Wahiduddin melanjutkan, begitu pula dengan putusan pengadilan yang selalu memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal itu harus selalu membebaskan pelaku yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang sangat dilarang menurut hukum Tuhan semata-mata hanya karena tidak memenuhi unsur delik.
"Padahal perbuatan tersebut jelas dilarang dan bersifat sangat tercela menurut nilai agama dan sinar ketuhanan," kata Wahiduddin.
Menurut mereka, jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus atau diputuskan sebagai open legal policy, maka Mahkamah memberikan kesempatan suatu norma hukum dalam UU dan putusan-putusan pengadilan yang bertentangan dengan nilai agama. Mahkamah mereka anggap paling tidak ikhlas memberikan eksistensi Suatu norma hukum dalam UU dan putusan-putusan pengadilan bertentangan dengan hukum yang hidup pada masyarakat Indonesia.
"Dalam konteks kriminalisasi, kami sependapat, Mahkamah seharusnya mengambil sikap membatasi diri untuk tidak menjadi 'positive legislator' dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana," lanjut dia.
Namun, menurut mereka, lain persoalannya ketika norma UU yang ada secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan. Nilai-nilai yang pada dasarnya bersifat 'diberikan' bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.
Sebab, kata mereka, perbuatan zina dan perbuatan cabul merupakan suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang oleh UU, melainkan karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab.
"Dan jelas disebutkan dalam Alquran serta berbagai kitab suci lain, sehingga aspek persetujuan rakyat tidaklah menjadi aspek yang sine qua non," tutur Wahiduddin.
Secara historis, kata mereka, pencantuman unsur objektif "anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama" dalam pasal 292 KUHP jelas merupakan kemenangan kaum homoseksual. 'Kemenangan' pula bagi sebagian anggota Tweede Kamer Belanda yang memang afirmatif terhadap praktik homoseksualitas.
"Padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela menurut hukum agama dan sinar ketuhanan serta nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat," jelas Wahiduddin.
Sehingga, mereka berpendapat, kata "dewasa", frasa "yang belum dewasa", dan frasa "yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa" dalam Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut mereka lagi, Pasal 292 KUHP tersebut seharusnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dengan demikian, berdasarkan ratio decidendi sebagaimana tersebut di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para Pemohon," tutur Wahiduddin membacakan bagian akhir dissenting opinion.