Jumat 22 Dec 2017 04:26 WIB

Indonesiafobia dan Islamofobia tidak Dibutuhkan di Sini

Hidayat Nur Wahid (HNW) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Hidayat Nur Wahid (HNW) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan, dalam menjaga dan merawat bangsa dan negara maka Indonesiafobia (ketakutan terhadap negara kebangsaan Indonesia) maupun Islamofobia (ketakutan terhadap Islam) tidak diperlukan. HNW mengatakan pihaknya menemukan dua fenomena tersebut di masyarakat.

Hidayat menjelaskan Indonesiafobia adalah pandangan yang mengkafirkan segala hal terkait tentang NKRI, demokrasi, parlemen, NKRI, dan partai politik. "Ada yang mengatakan demokrasi, parlemen dan lain-lain bid'ah. Kenapa? Karena tidak ada pada zaman Rasulullah,'' kata Hidayat dalam sosialisasi empat pilar di Bengkulu, Kamis, dihadapan sekitar 200 lebih peserta.

''Ya, semuanya memang tidak ada pada zaman Rasulullah. Tapi, apakah serta merta yang tidak ada di zaman rasulullah itu bid'ah? Nggak juga,'' katanya. ''Saya tanya, antum makan nasi tidak? Makan kan? Emang Rasulullah makan nasi?. Antum bikin yayasan untuk dakwah dan sebarkan kebaikan. Dulu Rasulullah sebarkan dakwah pakai yayasan ngga? Kok antum pakai yayasan?.''

Ia mengatakan tidak semua yang dari Barat itu kafir, begitu pula sebaliknya. "Kafir ya, kafir aja," katanya.

Sementara Islamofobia dinilai ketakutan berlebihan terhadap Islam. Sehingga, hal-hal yang berbau Islam itu diberikan stempel negatif, seperti dinilai sebagai teroris hanya karena berjenggot dan memekikkan takbir dan sebagainya.

"Islamofobia, sehingga umat Islam sedikit-sedikit dituduhkan anti NKRI, teroris cirinya takbir, kok takbir cirinya teroris, tiap hari orang takbir dimana-mana,'' kata Hidayat. ''Kemudian teroris berjenggot, padahal KH Agus Salim jenggotnya lebih panjang, berani ada yang mengatakan teroris? Justru beliau salah satu yang mendirikan Indonesia.''

"Jadi dua kondisi tadi, Islamofobia sedikit-sedikit teroris, Indonesiafobia sedikit-sedikit kafir. Dua-duanya adalah hal yang tidak kita perlukan. Kita justru perlukan jalan tengah, dengan mengenal empat pilar dalam konteks Indonesia dan Islam. Karena NKRI warisan jihad dan ijtihad yang ada dari para ulama," katanya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement