REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, tidak ada koalisi permanen di Pilkada, yang ada hanya persekongkolan pragmatis. Sehingga menurutnya, koalisi di Pilkada tidak akan bertahan lama.
Oleh karena itu, Pangi mengatakan koalisi permanen yang mengikuti pola nasional seperti poros Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat dengan poros PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP tidak secara otomatis sama untuk Pilkada.
"Cuma kan praktiknya tidak segampang itu di daerah, buktinya PDIP bisa (berkoalisi) dengan Demokrat. Gerindra dan PDIP. Jadi tidak bisa kemudian dipaksakan pola koalisi nasional ke pemilihan gubernur, bupati, walikota di daerah," kata Pangi, Rabu (10/1).
Pangi menilai, kepentingan koalisi Pilkada kecenderungannya bukan berdasar kepentingan idelogis, platform. Itu yang kemudian menjadikan antara partai koalisi pola nasional kemudian berseberangan. Pangi mengatakan ada beberapa faktor yang membuat koalisi Pilkada berbeda dengan nasional.
Pertama, Pangi mengatakan faktor calon yang diusung misalnya partai melihat peluang probabilitas menang. "Tapi itu biasa saja. Atas kepentingan mana peluang lebih besar kemudian bergabung," ujarnya.
Kedua, kata dia, bisa karena mahar politik. Biasanya partai mengusung kader eksternal karena bisa 'membayar'. Itu dilihatnya sebagai 'masa panen', karena kader eksternal tersebut dijual untuk membesarkan prtai. Partai menerima mahar.
Ada juga koalisi ditentukan faktor ideologi atau berdasarkan memiliki platform sama. Tetapi dia melihat kecenderungannya tidak lagi kentara. Menurutnya, memang tentu ada pengaruh terhadap Koalisi Pemilu 2019, tetapi koalisi berseberangan di pilkada juga tidak masalah.
"Terakhir, karena kepentingan bagaimana menyelematkan, misalnya kader partai bisa jadi wakil, baru mau berkoalisi. Seperti Ridwan Kamil (Pilgub Jabar), ada partai menarik diri dan lain-lain," ujarnya.