Senin 15 Jan 2018 19:03 WIB

61 Persen Penderita HIV di Kota Bekasi adalah Gay

Rep: Farah Noersativa/ Red: Nidia Zuraya
HIV/AIDS
Foto: www.islandcrisis.net
HIV/AIDS

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi mencatat sepanjang tahun 2017 terdapat sebanyak 466 penderita HIV yang ada di Kota Bekasi. Sebanyak 61 persen penyumbang angka itu merupakan gay, alias laki-laki seks dengan laki-laki (LSL).

"Angka itu termasuk tinggi, dan penyumbang terbesarnya adalah dari kaum LSL," ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinkes Kota Bekasi, Dezi Syukrawati kepada Republika, Senin (15/1).

Angka itu merupakan angka yang tercatat oleh pihaknya sejak bulan Januari hingga Oktober tahun 2017. Penanganan HIV di Kota Bekasi, ia katakan cukup sulit. "Karena jumlah penderitanya makin banyak sehingga penanganan lebih diintensifkan lagi," kata dia.

Ia menyebut perilaku seks sesama lelaki memberikan potensi paling tinggi poenyebaran virus HIV. Pihaknya pun saat ini tengah intensif melakukan upaya pencegahan dan penyembuhan para penderita HIV.

"Dari Dinas Kesehatan selalu memberikan upaya strategipencegahan dengan ABCD," katanya. Strategi ABCD yang ditujukan kepada parapasangan itu terdiri atas A yang berarti abstinancy, atau tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.

Bila memang A tidak bisa dicegah, upaya berikutnya adalah B. B atau Be Faithful adalah konsep rasa saling percaya dan saling setia untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan banyak orang, atau berganti-ganti pasangan.

Sementara, C adalah Condom. Bila kedua hal itu tak bisa lagi dilakukan, maka Dinkes menganjurkan untuk pemakaian condom. "Bukan berarti kita membolehkan kondom, tapi itu merupakan kelanjutan pencegahan sampaikan dari A dan B," katanya.

Upaya selanjutnya adalah D, yakni (no) drugs, dan yang kelima adalah E, yakni education. Pihaknya menegaskan, edukasi merupakan upaya paling akhir yang bisa dilakukan sebagai pencegahan tersebarnya virus HIV.

Ia juga menuturkan, penderita yang telah terjangkit HIV memang bisa dilakukan pengobatan. Namun, pengobatan itu harus dilakukan selama seumur hidupnya.

"Dan itu dibiayai negara, bisa dibayangkan kan negara sudah keluar berapa banyak untuk pengobatan ini," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement