REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis ulama Indonesia (MUI) menyesalkanPutusan MK terkait permohonan uji materi agar mahkamah konstitusi (MK) memberikan perluasan makna dalam pasal perzinaan. Wakil ketua umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi menilai dalam hal ini MK tidak berani mengambil terobosan hukum di tengah mendesaknya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap perlindungan terhadap kejahatan kesusilaan.
"MUI akan terus mencermati dan mengawal proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) KUHP di dewan perwakilan rakyat (DPR) khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang diamanatkan oleh mahkamah konstitusi (MK) untuk dibahas dan ditetapkan oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah sesuai dalam Putusan MK Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016," ujar Zainut melalui siaran tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (21/1).
Pasal-pasal tersebut adalah pasal 284 tentang perzinaan, pasal 285 tentang perkosaan dan pasal 292 tentang pencabulan (LGBT). MK menolak dengan alasan mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR.
"Nanti akan berkembangnya prilaku seks bebas tanpa ikatan perkawinan yang sah karena tidak adanya payung hukum yang cukup memadai dan tidak memenuhi unsur dalam pasal perzinaan sebagainana yang diatur dalam KUHP pasal 284," ujarnya.
Begitu juga maraknya praktik pencabulan terhadap pasangan sejenis baik terhadap anak atau pun orang dewasa karena tidak memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 292 tersebut. Hal ini menurutnya sama halnya membiarkan dan mendorong berkembangnya perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT)
MUI sangat prihatin dengan semakin berkembangnya pemikiran dan budaya hidup sebagian manusia Indonesia yang sekuler, liberal, dan jauh dari nilai-nilai agama dan kesusilaan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita yang berdasarkan Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
"Oleh karenanya, MUI mendorong DPR dan Presiden menindaklanjuti Putusan MK tersebut, untuk segera membahas dan menetapkan RUU KUHP menjadi UU dengan serius dan sungguh-sungguh memperhatikan, menyerap dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat yaitu memasukkan unsur pelaku kejahatan tidak dibatasi kepada kategori orang-orang tertentu saja dalam merumuskan pasal-pasal kesusilaan: perzinaan, perkosaan, dan pencabulan (LGBT) dalam pembahasan RUU KUHP," kata Zainut.
MUI menengarai bahwa dalam pembahasan pasal-pasal RUU KUHP tersebut di atas, DPR mengalami kebuntuan karena tidak adanya kesepahaman fraksi-fraksi dalam memahami pasal-pasal tersebut. Ada fraksi yang semangatnya menolak atau tidak setuju dan ada fraksi yang menerima atau setuju dengan perluasan makna pasal-pasal tersebut. Untuk hal tersebut MUI berharap DPR transparan dalam proses pembahasannya agar masyarakat dapat mengikuti perkembangan pembahasannya.
"MUI mengajak seluruh komponen masyarakat khususnya umat Islam Indonesia untuk terus mengikuti, mencermati dan mengawal pembahasan RUU KUHP di DPR, agar hasilnya sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat Indonesia," tutupnya.