REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masyarakat adat Minangkabau menolak adanya klaim sepihak atas paten batik tanah liek. Penyebutan 'tanah liek' sendiri diyakini merupakan produk budaya Sumatra Barat (Sumbar) dan boleh saja dipakai oleh pihak manapun. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat menilai, praktik oknum yang mematenkan penamaan 'tanah liek' untuk kepentingan pribadi dikhawatirkan akan merugikan banyak pihak.
"Produk budaya adalah milik masyarakat, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, tidak bisa dipatenkan menjadi merek dagang milik pribadi," kata Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Rajo Pangulu, Senin (22/1).
Sayuti mengungkapkan dengan adanya paten atas merek 'tanah liek' oleh individu, maka komunitas atau pihak lain tidak bisa menggunakan nama batik tanah liek. Padahal ia menilai, batik tanah liek adalah produk budaya milik masyarakat Minangkabau yang lahir dan berkembang sejak ratusan tahun lalu.
LKAAM mendesak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham untuk mencabut kembali hak paten yang terlanjur diberikan kepada individu atas penamaan 'tanah liek'. Sebagai gantinya, menurut Sayuti, pihak manapun bisa mengajukan hak paten merek dagang batik tanah liek dengan penambahan nama pemilik atau nama daerah.
"Kalau membuat merek batik tanah liek diikuti nama orang, itu silakan saja. Orang lain juga bisa menggunakan merek batik tanah liek dengan embel-embel namanya di belakang," kata Sayuti.
Sayuti menambahkan, privatisasi produk budaya juga dikhawatirkan akan memberatkan Ninik Mamak (pemangkut adat) di Sumbar. Alasannya, batik tanah liek merupakan salah satu busana adat yang kerap digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat. Ditakutkan, lanjutnya, adanya paten atas penamaan 'tanah liek' mengharuskan Ninik Mamak untuk meminta izin sebelum mengenakan batik tanah liek.
"Kalau tidak izin nanti berurusan dengan hukum," katanya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) Profesor Dr Herwandi menyebutkan, asal usul batik tanah liek bisa ditarik ke belakang, ke masa 13 Masehi. Penanggalan ini mengacu pada peninggalan arkeologis di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar yakni patung amoghapasa.
Herwandi mengungkapkan, patung tersebut mulanya dikirim oleh Raja Kertanegara ke Dharmasraya dalam ekspedisi Pamalayu pada tahun 1286. Patung amoghapasa menampilkan sosok dewa dengan sarung atau kain bermotif batik. Gerabah dengan pola batik juga dijumpai di Dharmasraya, yang menunjukkan seni membatik ikut berkembang di Dharmasraya.
"Jadi klaim pribadi atas merek tanah liek berdampak buruk bagi budaya," kata Herwandi.
Ketua Dekranasda Pesisir Selatan, Lisda Rawdha menambahkan, klaim dari pribadi atas merek 'tanal liek' berimbas pada pengembangan batik di Pesisir Selatan. Apalagi, lanjutnya, batik tanah liek merupakan salah satu produk unggulan di daerahnya yang kerap dipamerkan dalam
"Bahkan ada rencana akan dibuat kampung batik tanah liek di Pesisir Selatan," katanya.