REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Bali, I Kadek Ariasa, mengatakan kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, jalanan, namun juga dunia pendidikan. Regulasi program pendidikan perlindungan anak menjadi kebutuhan di zaman sekarang.
"Tidak ada satu pun daerah di Bali yang terbebas dari kasus kekerasan terhadap anak di dunia pendidikan," kata Ariasa, Selasa (23/1).
Ariasa mengakui sudah banyak sekolah di Bali mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga kejuruan yang menerapkan program pendidikan inklusif bagi anak didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Namun dalam implementasi masih banyak sekolah dan guru yang tidak siap mendampingi pelaksanaan layanan pendidikan inklusif tersebut.
"Anak-anak berkebutuhan khusus masih banyak yang belum mendapat perhatian dari lembaga pendidikan dan regulasi yang ada," ujarnya.
Ariasa mencontohkan kasus anak-anak berkebutuhan khusus yang diusir secara halus dari sekolah di Gianyar. Mereka tidak diperhatikan dan tidak didampingi dengan baik hingga akhirnya diminta secara halus untuk pindah sekolah karena guru tak ada yang fokus memberi kasih sayang pada yang bersangkutan.
Masalah juga datang dari orang tua atau wali murid. Ariasa mencontohkan di Kintamani seorang anak bunuh diri karena disuruh bekerja terus oleh orang tuanya dan tidak diberi kesempatan untuk bersekolah. Ada juga anak yang minder ke sekolah karena orang tuanya tidak mampu membelikan laptop sebagai fasilitas penunjang belajar.
Komisioner KPPAD Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini mengatakan baru-baru ini KPPAD Bali kembali menemukan dua kasus memprihatinkan dengan korban remaja usia sekolah. Kasus pertama di Denpasar, seorang siswa SMP melakukan panggilan video (video call) mesum dengan kekasih yang berujung pada laporan ke kepolisian.
"Kasus kedua adalah remaja SMP yang tewas setelah berhubungan layaknya suami istri dengan kekasihnya (di Tabanan). Peristiwa ini sangat memprihatinkan," kata Yastini kepada Republika.
Yastini mengatakan belajar dari kasus ini maka seluruh pihak hendaknya mulai terbuka dalam berbicara mengenai reproduksi kepada anak. Pendidikan seks usia dini selama ini selalu dikonotasikan negatif, padahal ini lebih kepada persoalan tentang pendidikan pengenalan kesehatan reproduksi.
Anak sekolah usia remaja, kata Yastini sangat penting diedukasi supaya mereka mendapat informasi benar dari sumber yang tepat, bukan sumber yang tidak jelas. Undang-Undang Kesehatan juga menyebutkan remaja harus mendapatkan edukasi, informasi, dan layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Anak akan lebih bisa memahami secara benar bagaimana fungsi alat reproduksi dan dampak apabila melakukan hubungan seksual terlalu dini.
Undang-Undang Kesehatan juga menyebutkan pendidikan kesehatan ini bisa didaparkan di sekolah dan diluar sekolah. Oleh sebab itu, kata Yastini akan lebih baik jika ini dilakukan sistematis, misalnya memasukkan materi pengetahuan reproduksi dalam kurikulum pendidikan.
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement