REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para sejarawan sepakat, dalam era Kesultanan Delhi terjadi sintesis kebudayaan India dengan peradaban Islam. Selain itu, pengaruh kebudayaan bangsa seminomaden Turki serta Persia juga marak di India utara.
Sebagai contoh hasil sintesis ini, banyak bangunan monumental berdiri dengan memerhatikan aspek-aspek lokal serta mengagungkan simbol-simbol Islam.Selain itu, di bidang sastra juga cukup banyak pencapaian yang mengagumkan, terutama melalui bahasa Urdu.
Bagaimanapun, ketidakstabilan poli-ptik cenderung marak semasa 320 tahun Kesultanan Delhi. Sedikitnya, lima dinasti timbul tenggelam, yakni Mamluk, Khalji, Tughlaq, Sayyid, dan Lodi. Dari 35 sultan yang sempat bertakhta, 19 orang di antaranya tewas terbunuh akibat intrik politik kekuasaan.
Qutb al-Din Aibak mendirikan Dinasti Mamluk pada 1206 di Delhi. Nama bani penguasa dalam bahasa Arab berarti yang dimiliki atau budak.Hal ini karena sosok pendirinya merupakan seorang mantan budak. Setelah Aibak wafat pada 1210, kekisruhan sempat terjadi.
Sebab, belum ada ketentuan yang mengatur pergantian kekuasaan di lingkaran elite para mantan budak Turki. Alhasil, Aram Shah, yang disebut-sebut sebagai putra Aibak, menjadi sultan berikutnya.Namun, kekuasaannya hanya berjalan satu tahun lamanya karena dia menjadi korban pembunuhan yang direncanakan Syamsuddin Iltutmish.
Dalam era Iltutmish, Dinasti Mamluk mulai kukuh di India utara. Dia menjalankan kekuasaan dengan tangan besi.Di antara warisan pentingnya adalah pembagian administrasi kekuasaan menjadi beberapa provinsi yang dibawahi seorang qadhi.
Iltutmish juga mendirikan Madrasah Firoziyya sebagai pusat intelektual di Uch (kini bagian Provinsi Punjab, Pakistan). Dia mulai memberlakukan koin yang khas Muslim untuk menanggulangi peredaran mata uang buatan penguasa Hindu di India selatan. Mata uang tersebut diketahui merujuk pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Bagdad.
Iltutmish hendak mewariskan kekuasaan kepada Nasiruddin Mahmud. Namun, putra tertuanya itu lebih dahulu wafat pada 1229. Dengan pertimbangan kecakapan memerintah, Radiyya akhirnya dipilih Iltutmish untuk meneruskan takhtanya. Perempuan tersebut merupakan menantunya sendiri atau istri dari almarhum Nasiruddin Mahmud. Pada 1236, Iltutmish meninggal dunia.
Sepeninggalan Iltutmish, Dinasti Mamluk kembali bergejolak. Tampuk kekuasaan direbut Muizuddin Bahram. Radiyya tewas dalam pengepungan yang dipimpin saudara tirinya itu pada 1240.
Namun, Bahram ternyata tidak cakap memimpin sehingga Punjab dan Lahore dapat diserbu tentara Mongol. Pada 1242, akibat konspirasi kalangan elite istana, Chihalgani, Bahram dihukum mati