REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kepolisian Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar menilai penunjukkan polisi sebagai penjabat gubernur adalah sebuah pelanggaran hukum. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan UU Kepolisian.
"Fungsi kepolisian itu adalah alat negara penegak hukum bukan alat politik. Penunjukkan tersebut bisa menyeret pejabat polisi ke ranah politik praktis," kata Bambang pada Republika.co.id, Senin (29/1).
Seperti diketahui, Asops Kapolri Irjen Pol Mochamad Iriawan direncanakan akan mengisi penjabat Gubernur Jawa Barat. Sementara Kadivpropam Polri Irjen Pol Martuani Sormin diwacanakan akan mengisi penjabat Gubernur Sumatera Utara. Dua wilayah tersebut adalah dua wilayah penyelenggara pilkada, bahkan termasuk zona rawan pilkada.
Menurut Bambang, espirit de corp atau sikap loyalitas anggota pada pimpinan maupun institusi bisa memengaruhi netralitas polisi. Dalam hal ini, netralitas dalam tugas pengamanan pemilu di wilayah pilkada dengan penjabat Gubernur seorang pati Polri pun menjadi pertanyaan.
Bambang menjelaskan, sesuai UU no 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 23 tentang sumpah bagi anggota polisi dalam menjalankan tugas harus netral. Pasal 28 menyebutkan anggota polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan jika akan menduduki jabatan di luar Polri harus mengundurkan diri.
"Jadi secara fungsional maupun yuridis pengangkatan pejabat polisi tersebut berpotensi rawan dalam pelaksanaan Pilkada," ujarnya.
Bambang menambahkan, tuntutan reformasi adalah dihapusnya dwi fungsi ABRI. Sedangkan ABRI adalah TNI & Polri. Sehingga Polri juga tidak diperbolehkan mempraktikkan kembali dwifungsi.
"Itu melanggar hukum, karena bertentangan dengan UU Kepolisian & UU Pilkada," kata Bambang menegaskan. Ia pun menyarankan, secara fungsional lebih baik mengangkat pejabat sipil untuk mengisi posisi gubernur daripada pejabat Polri.
(Baca: Polisi Jadi Plt Gubernur, Pengamat: Netralitas Polri Pudar)