Selasa 30 Jan 2018 20:30 WIB

Pemerintah DIY Didorong Tertibkan Topeng Monyet

Aktivitas topeng monyet di DIY mengalami peningkatan signifikan.

Aksi teaterikal yang menggembarkan penderitaan monyet yang dipekerjakan saat aksi Air Mata Topeng Monyet yang digelar Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dalam rangka Peringatan Hari Primata Nasional, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (30/1).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Aksi teaterikal yang menggembarkan penderitaan monyet yang dipekerjakan saat aksi Air Mata Topeng Monyet yang digelar Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dalam rangka Peringatan Hari Primata Nasional, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (30/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  YOGYAKARTA -- Sejumlah aktivis peduli satwa yang tergabung dalam Animal Friends Jogja mendorong Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan regulasi yang melarang berbagai aktivitas topeng monyet di daerah itu. Pertunjukan itu melanggar kesejahteraan satwa. 

"Kami berharap DIY menjadi daerah selanjutnya setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat yang memberlakukan larangan dan penertiban aktivitas topeng monyet," kata Program Manager Animal Friends Jogja (AFJ) DZ Angelina Pane seusai audiensi dengan jajaran Pemda DIY di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (30/1).

Topeng monyet, kata Angelina, merupakan kegiatan yang melanggar kesejahteraan satwa pada seluruh prosesnya dan merupakan eksploitasi terhadap satwa liar. Bayi monyet ekor panjang (macaca fascicularis) yang akan dieksploitasi untuk topeng monyet ditangkap dari hutan secara ilegal lalu dijual ke berbagai daerah.

"Dalam proses ini para induk monyet terbunuh dan anggota keluarga lainnya seringkali juga tewas," kata dia.

Menurut Angelina, berdasarkan hasil investigasi AFJ sejak 2014 hingga 2017 aktivitas topeng monyet di DIY mengalami peningkatan signifikan, dari 16 kasus pada 2014 menjadi 70 kasus pada 2017. Peningkatan itu terjadi, khususnya setelah Pemda DKI Jakarta dan Jawa Barat tegas melarang aktivitas itu.

"Larangan aktivitas topeng monyet di DKI Jakarta dan Jawa Barat juga mengakibatkan terjadinya perpindahan pelaku atau pawang aktivitas topeng monyet ke wilayah DIY," kata dia.

Apabila aktivitas itu tetap dibiarkan merajalela, menurut dia, tidak sekadar melanggar kesejahteraan satwa (animal walfare), melainkan juga membawa dampak yang membahayakan kesehatan masyarakat.

"Monyet ekor panjang termasuk hewan penular rabies (HPR) sehingga sangat membahayakan kesehatan masyarakat dengan penularan penyakit ke manusia (zoonosis) terlebih dengan fakta bahwa target utama aktivitas ini adalah anak-anak," kata dia.

Oleh sebab itu, ia berharap melalui regulasi yang tegas DIY bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya untuk melakukan pelarangan serupa terhadap aktivitas topeng monyet.

"Kami tidak hanya menuntut tetapi juga datang membawa solusi. Kami siap membantu sampai satwa-satwa liar ini kembali ke habitatnya," kata Angelina.

Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengakui Pemda DIY belum memiliki regulasi yang spesifik mengatur tentang topeng monyet. Namun demikian, pada 2009 Gubenur DIY telah menerbitkan surat edaran (SE) perihal kewaspadaan terhadap penyakit rabies.

Dalam SE yang ditujukan ke bupati/wali kota se-DIY itu, antara lain melarang memasukkan hewan penular rabies (HPR) seperti anjing, kucing, kera dan sebangsanya ke dalam wilayah Provinsi DIY yang berasal dari daerah tertular rabies.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement