Selasa 06 Feb 2018 08:51 WIB

Kasus 'Kartu Kuning' UI dan Pasal Penghinaan Presiden

Pasal penghinaan presiden ini dinilai mengganggu kebebasan menyatakan pendapat.

Kebebasan berpendapat (ilustrasi).
Kebebasan berpendapat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Rusdy Nurdiansyah, Fauziah Mursid

Nama Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Zaadit Taqwa, mendadak muncul ke pentas politik nasional. Aksi heroiknya mengacungkan 'kartu kuning' di hadapan Presiden Jokowi mendapat respons luar biasa dari publik.

Pro kontra atas aksi itu muncul. Namun, Presiden Jokowi memberikan tanggapan yang positif dan siap menerima kritik yang disampaikan sang mahasiswa. Sebagai negarawan, Jokowi mengapresiasi sikap Zaadit dan mengajaknya mengunjungi suku Asmat.

Zaadit mengatakan aksi yang dilakukannya merupakan bentuk evaluasi bagi Jokowi dan Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi. Lewat aksi itu, BEM UI meminta Jokowi segera menyelesaikan gizi buruk di Papua, tak menunjuk perwira kepolisian sebagai plt gubernur menjelang pilkada, dan keleluasaan bagi mahasiswa melaksanakan kegiatan mereka.

Buku kuning yang dibawa pada aksi tersebut merupakan buku paduan suara. "Ini spontan karena sebenarnya sudah menyiapkan rencana, tapi berubah-ubah menyesuaikan dengan kondisi di dalam ruangan," kata Zaadit, pekan lalu.

Presiden Jokowi sempat menjanjikan akan mengajak Zaadit ke Asmat guna menengok kondisi yang serbasulit di sana. Atas usulan itu, Zaadit meluncurkan penggalangan dana secara daring melalui laman kitabisa.com yang dimulai kemarin.

Namun, di lain pihak, Pihak Universitas Indonesia (UI) menyatakan permintaan maaf atas interupsi di acara Dies Natalis yang dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kampus UI, Depok, Jumat (2/2) lalu. Pihak UI menilai penyampaian kritik harus pada tempat yang tepat.

"Kami sangat menyesaIkan peristiwa interupsi dilakukan dalam Sidang Terbuka Dies Natalis UI yang seharusnya dihormati dan dijaga kehormatannya," kata Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Rifelly Dewi Astuti, dalam pernyataannya kepada Republika, Senin (5/2).

Dies Natalis ke-68 UI dihadiri para guru besar, senat akademik, pimpinan, dosen, dan mahasiswa, serta undangan termasuk Presiden Jokowi dan para menteri Kabinet Kerja. Presiden Jokowi saat itu memberikan orasinya di hadapan civitas akademika UI sekaligus meresmikan Forum Kebangsaan UI.

Perayaan Dies Natalis ini berlangsung baik dan khidmat. Namun, pada akhir acara terjadi interupsi dari seorang mahasiswa UI yang menyampaikan aspirasinya dengan melakukan aksi simbolis meniupkan pluit dan mengangkat buku kuning.

Atas kejadian tersebut, pimpinan UI menyampaikan permohonan maaf kepada civitas akademika serta para undangan yang hadir, termasuk Presiden Jokowi. "Kami sangat menyayangkan mahasiswa tersebut memilih cara penyampaian aspirasi seperti itu, padahal sudah diagendakan pertemuan langsung untuk menyampaikan aspirasi kepada Presiden Jokowi," kata Rifelly.

Menurut Rifelly, sikap kritis mahasiswa sudah sewajarnya dibangun karena mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Namun, penyampaian saran, kritik, dan solusi konkret semestinya harus memperhatikan berbagai kondisi, seperti waktu, tempat, dan situasi yang terjadi.

Rektor UI, Prof Muhammad Anis, mengatakan, merupakan kewajiban universitas untuk menghasilkan intelektual-intelektual muda yang mampu menjadi pemimpin yang baik dalam memberikan kontribusi kepada negara. "Kami mohon semua pihak memiliki kearifan seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi, yakni untuk melihat peristiwa ini sebagai sebuah pengalaman dan pembelajaran bagi mahasiswa tersebut pada khususnya, dan mahasiswa UI pada umumnya, serta seluruh komponen bangsa," ujar Anis.

Aksi heroik Zaadit yang mengkritik Presiden bersamaan dengan pembahasan  Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU RKUHP). Sejumlah pasal krusial dibahas termasuk pasal penghinaan presiden yang berdampak pada hukuman bagi si pengkritik.

Tim Perumus RUU RKUHP bersama perwakilan pemerintah sudah menyepakati rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden masuk RUU RKUHP, kemarin. Ini yang memantik kontroversi atas pembungkaman kebebasan jilid baru setelah era Orde Baru.

Pasal pertama yang lolos dirumuskan adalah Pasal 238 mengenai tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. "Setiap orang yang menyerang diri presiden/wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun ", begitu bunyi pasal itu.

"Oke, pasal ini tidak ada masalah ya, diketok," ujar Ketua Panja RUU RKUHP, Benny K Harman, sekaligus pimpinan timmus saat rapat di Komisi III DPR, kompleks Parlemen Senayan, kemarin.

Pasal 239 tentang penghinaan presiden sempat didebatkan sejumlah anggota fraksi sebelum disepakati bersama pemerintah. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari pemerintah. "Saya usulkan pasal tidak dihapus, tapi diganti jadi delik aduan," ujar Benny.

Hal serupa juga diungkapkan oleh anggota Panja RKUHP dari Fraksi PPP, Arsul Sani, yang menilai pasal ini cenderung mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang. Ia sempat meminta jikapun tetap delik aduan, ancaman hukuman diturunkan di bawah lima tahun. Jadi, kalau lima tahun ini bisa langsung tahan oleh polisi.

Hal tersebut, menurut dia, berpotensi jadi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat hukum. “Mahasiswa ngasih kartu kuning langsung ditahan. PPP usulkan dipertahankan, tapi dikurangi untuk limitasi penegak hukum agar tidak sewenang-wenang," ujar Arsul.

Namun, pemerintah berkukuh dengan alasan, yakni penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum sehingga disejajarkan. Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RUU RKUHP, Enny Nurbaningsih, menegaskan aturan pidana pasal penghinaan presiden tidak melihat siapa presidennya saat ini.

"Tetapi kalau kemudian dipersoalkan tadi mengenai ancamannya apakah bisa diturunkan sangat bisa," kata Enny. Menyusul kompromi pemerintah itu, Pasal 239 akhirnya disetujui oleh timmus dan pemerintah masuk RUU RKUHP sebagai delik umum.

Pasal 240 yang mengatur pidana soal penyebarluasan, menyiarkan atau menempelkan, memperdengarkan konten melalui tulisan, gambar, atau apa pun termasuk teknologi informasi, ditunda rumusannya dan dibawa ke rapat tingkat Panja Komisi III DPR.

(Pengolah: Fitriyan Zamzami).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement