Selasa 06 Feb 2018 09:32 WIB

Pengamat: Guru dan Murid Jadi Korban Sistem Pendidikan

Generasi milenial tidak bisa dimarahi atau ditegur tapi dibangun sisi positifnya

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Bilal Ramadhan
Sianit Sinta menujukkan foto mendiang suaminya Ahmad Budi Cahyanto guru SMAN 1 Torjun yang tewas dipukul siswanya sendiri, di Desa Tanggumung, Sampang, Jawa Timur, Sabtu (3/2).
Foto: Antara
Sianit Sinta menujukkan foto mendiang suaminya Ahmad Budi Cahyanto guru SMAN 1 Torjun yang tewas dipukul siswanya sendiri, di Desa Tanggumung, Sampang, Jawa Timur, Sabtu (3/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Baru-baru ini terjadi satu kejadian memilukan saat seorang murid melakukan pemukulan kepada seorang guru yang akhirnya merenggut nyata sang guru. Sistem pendidikan, menjadi salah satu faktor kuat yang dinilai mengakibatkan ini bisa terjadi.

Pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal mengatakan, tentu banyak aspek yang harus dilihat dari kejadian ini. Dari aspek psikologi misalkan, efek otak remaja memang membutuhkan satu eksistensi diri.

Khususnya, dari satu bagian korteks yang memang membutuhkan efek-efek eksistensi dan kebahagiaan. Bila itu tidak didapatkan di sekolah, anak-anak tentu tidak memiliki ruang untuk membangun emosi secara seimbang.

Hal itu dikarenakan anak-anak membutuhkan luapan, dan bila ketidakhadiran ruang itu di rumah sama seperti di sekolah, tuntutan itu semakin menguat. Baik dari sekolah, rumah dan mungkin masyarakat.

"Karena masyarakat itu hanya melihat mereka yang nilainya tinggi, sehingga anak ini merasa tidak punya eksistensi dan benefit kepada lingkungan sekitar, anak kemudian lari mencari aspek kebahagiaan itu," kata Rizal saat dihubungi Republika.co.id, Senin (52).

Sayangnya, lanjut Rizal, pencarian itu mungkin malah menemukannya ke suplemen lain yang tidak baik seperti kekerasan atau pemukulan. Terlebih, ada satu aspek lain yang menguatkan itu yaitu efek dari media sosial.

Terbukanya informasi turut mengakibatkan hal-hal seperti itu, mengingat berita yang dulu dibatasi saat ini begitu mudah diakses. Menengok ke belakang, di era Presiden Soeharto malah mungkin berita-berita itu tidak akan ditayangkan.

Rizal melihat, saat ini terjadi satu connecting cognitive karena kita semua terhubung satu sama lain melalui internet dan media sosial. Apalagi, dengan biaya internet dan teknologi yang semakin terjangkau.

"Kita semakin mudah menjangkau informasi itu, dan ketika kita memperoleh berita membutuh dan sebagainya itu biasa, karena diberitakan seolah itu biasa, anak-anak jadi lebih mudah memperoleh informasi kekerasan," ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut.

Ketika informasi itu mudah diperoleh, bukan tidak mungkin anak-anak memiliki ide kreatif yang terbilang negatif. Misalkan, anak memiliki pola pikir kalau pemukulan bisa dilakukan di luar rumah, perlawanan bisa dilakukan di dalam rumah, dan lain-lain.

Ia berpendapat, terbukanya hubungan kognitif dengan media sosial ini semakin meningkatkan kemungkinan kekerasan itu terjadi. Terlebih, seperti sekarang saat kemampuan berpikir kritis dan mencari eksistensinya tidak sehat secara emosi.

Sebagai pendidik, Rizal melihat apa yang terjadi merupakan akumulasi mengingat teguran yang dilakukan sang guru kemungkinan berulang kali terjadi dan membuat emosinya terpendam. Dari sisi pendidik, mungkin pula sang guru memiliki pola pikir lama yaitu hak menegur.

"Tapi, ketika guru punya perspektif berbeda terkait karakter anak muda di era milenial, guru ini akan memandang apa yang dilakukan anak semata-mata negatif," kata Rizal.

Padahal, tidur itu tentu merupakan suatu proses alamiah, tergantung bagaimana melihatnya. Karenanya, jangan-jangan pendekatan pembelajaran atau memang tidak tersalurkan stimulan-stimulan yang menantang otak anak, sehingga anak itu tertidur.

Artinya, banyak aspek yang harus dilihat karena guru perlu juga mencoba merubah gayanya mengajar, dari model lama ke model milenial. Sebab, anak milenial tidak bisa diceramahi melainkan lewat mentorship.

"Anak milenial itu tidak bisa dimarahi atau ditegur, tapi dibangun sisi positifnya, mereka tidak senang diungkit hal-hal negatifnya, tapi senang bila dibangun hal-hal positifnya," ujar Rizal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement