REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pola pembangunan nasional yang masih mengutamakan pembangunan ekonomi mengesampingkan kondisi lingkungan. Hal tersebut membuat kualitas lingkungan hidup lebih rendah karena kurang diperhatikan.
Ketua Umum Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI Network)
Mahawan Karuniasa mengatakan, perlu perubahan paradigma berfikir sistem dalam mendorong pelestarian keanekaragaman hayati dan kearifan lokal dari perspektif pendidikan.
"Cara berfikir ini penting untuk menghadapi berbagai isu yang kompleks, seperti keanekaragaman hayati, perubahan iklim, serta pembangunan berkelanjutan," katanya yang juga Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dalam Seminar Nasional dan Bioexo 2018 di Universitas Negeri Padang (UNP), Sabtu (10/2).
Menurutnya berfikir sistem berarti komprehensif atau holistik, lintas sektor, berjangka panjang, serta dinamis. Isu pembangunan berkelanjutan diakuinya terus berkembang, disusul dengan Earth Summit tahun 1992 di Rio Janeiro atau UN Conference on Environment and Development (UNCED) yang akhirnya muncul agenda SDGs menuju pembangunan berkelanjutan global 2030.
Mahawan Karuniasa yang juga perwakilan Indonesia dan Asia Pasifik di Badan PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) melanjutkan, selain untuk mendukung jumlah penduduk yang terus bertambah, Indonesia masih perlu berupaya mengejar ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara tetangga, maupun untuk berkembang menjadi negara maju.
"Indonesia masih tertinggal dengan Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam hal ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita," katanya.
PDB Indonesia berada di urutan ke 5 setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu, menurutnya, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dibutuhkan tiga hal prinsip.
Pertama, perubahan paradigma dari sektoral yang statis dan kepentingan sesaat menjadi paradigma systems thinking yang holistik dan dinamis, khususnya untuk para pemangku kepentingan, terutama pengambil keputusan di pemerintahan. Dengan begitu cara pandang sektoral dan jangka pendek segera ditinggalkan.
Kedua, perlu dibangun kesadaran dan tindakan operasional para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah. Berdasarkan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup adalah dalam konteks pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan Indonesia berkelanjutan.
Selama ini kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maupun kebijakan turunannya, masih diangap oleh berbagai pihak sebagai instrumen lingkungan hidup dalam arti sempit.
"Masih menyisakan situasi naif petentangan ekonomi dan lingkungan, yang seharusnya sudah punah," ujarnya.
Ketiga, dalam menghadapi isu global, seperti perubahan iklim dan SDGs perlu dikonstruksikan sesuai kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia, bukan sebaliknya.
Upaya mitigasi gas rumah kaca sektor energi misalnya, ia melanjutkan, pada saat yang sama harus mampu memenuhi kebutuhan energi, seperti peningkatan elektrifikasi. Reduksi emisi dari sektor pertanian, pada saat yang sama juga harus mempertahankan atau meningkatkan ketahanan pangan.
"Upaya untuk mencapai kondisi tanpa kemiskinan, pada saat yang sama juga melestarikan lingkungan," kata dia.
Tiga prinsip tersebut diakuinya dapat berimplikasi positif pada upaya pembangunan berkelanjutan. Kajian Lingkungan Hidup (KLHS) yang menjadi instrumen utama untuk pembangunan berkelanjutan, tidak direduksi menjadi sekedar Amdal dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun kebijakan, rencana, dan program lainnya.
"KLHS juga tidak sekedar untuk perlindungan dan pengelolaan aspek lingkungan saja," tegasnya. Namun juga untuk membangun sistem ekonomi, sosial dan lingkungan yang seimbang, yang berarti mewujudkan pembangunan berkelanjutan.