REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lingkaran Madani (LIMA) Ray Rangkuti menuding tiga partai, PKS, PAN dan Gerindra tidak konsisten terkait pasal penghinaan. Ketiga partai itu menolak keras Pasal Penghinaan Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun pada waktu yang berbeda mereka justru menyetujui pasal penghinaan anggota DPR RI dalam Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
"Maka anggap mereka (PKS, PAN dan Gerindra) Inkonsisten. Kenapa Pasal penghinaan terhadap presiden mereka menolak, tapi penghinaan kepada anggota dewan mereka justru setuju," ujarnya di Jakarta Pusat, Selasa (13/2).
Rangkuti menambahkan, sikap ketiga partai itu terhadap pasal penghinaan presiden lebih pada posisinya sebagai partai oposisi. Namun, Rangkuti meyakini sikap itu akan berbeda jika mereka menjadi partai penguasa di pemerintahan. Sedangkan pada Pasal 122, ketiga partai itu dituding mendukung karena kepentingan sebagai anggota dewan.
"Jadi demikian, pasal ini siapa yang mau ambil keuntungannya. Karena yang ambil keuntungan anggota DPR, ya PKS, Gerindra, dan PAN setuju saja," katanya.
Selain itu, Rangkuti juga, menganggap revisi UU MD3 sebagai alat untuk menjadikan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai "temeng" Anggota Dewan. Salah satunya adalah terdapat pada Pasal 122, yang berbunyi, dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR RI.
Menurut Rangkuti, dengan adanya pasal tersebut, jika ada pihak yang merendahkan kehormatan anggota DPR RI, maka MKD bisa bertindak dengan mengambil langkah hukum. Selanjutnya, pihak yang mengkritik dan dianggap merendahkan anggota DPR RI bisa diproses secara hukum dengan dilaporkan ke kepolisian.
"Akibatnya MKD tidak lagi berfungsi menjaga etika dewannya tapi menjaga anggota dewan agar tidak dihina oleh publik. Ini yang membuat kami, rakyat tersentak, kok bisa," keluh Rangkuti.