REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Iran mengancam akan menarik diri dari kesepakatan nuklir bila tak ada manfaat ekonomi yang mereka dapat. Apalagi jika bank-bank terus menjauh.
Di bawah kesepakatan bersama Inggris, Cina, Prancis, Jerman, Rusia, dan AS, Iran sepakat untuk menghentikan program nuklir dengan kompensasi pencabutan sanksi ekonomi. Sayangnya, bank-bank besar terus menjauh dari Iran yang tengah berusaha membangun kembali perdagangan internasional dan investasinya.
Terkait itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan kepada Uni Eropa (UE) untuk menangani syarat yang Iran ajukan. Jika tidak, AS akan menjatuhkan lagi sanksi yang sudah dicabut dari Iran.
Trump sendiri melihat tiga cacat dalam kesepakatan ini yakni kegagalan penanganan program misil balistik Iran, syarat bagaimana inspektur internasional bisa meninjau langsung pusat nuklir Iran, dan klausul yang mengharuskan Iran menghentikan total program nuklirnya dalam 10 tahun. Trump bersikukuh tiga poin itu harus masuk dalam JCPOA bila pihak-pihak terkait masih ingin AS ada di sana.
Deputi Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menyatakan Iran sendiri menyatakan tak mau senjata nuklir dan tak ada klausul soal itu dalam kesepakatan mereka. Namun, Bila Trump bersikukuh juga dengan sikapnya, Iran tak akan memberikan perjanjian yang diajukan.
''Kesepakatan ini tidak akan berjalan kalau begini caranya, bahkan bila ultimatum dan sanksi diperpanjang,'' kata Araqchi yang memimpin tim negosiator nuklir Iran seperti dikutip Reuters.
Jika langkah membingungkan dan ketidakpastian Rencana Aksi Menyeluruh Bersama (JCPOA) terus berlanjut, bila perbankan enggan masuk ke Iran, Iran tak mau berada dalam kesepakatan yang tak menguntungkan. ''Faktanya demikian,'' kata Araqchi.
Araqchi menilai Trump salah interpretasi soal klausul penghentian program nuklir Iran. Komitmen Iran untuk tidak membuat senjata nuklir adalah komitmen permanen.
Ia menekankan, JCPOA bukanlah kesepakatan blok sehingga tak perlu berat ke satu pihak. Sebab jika tidak, persoalan akan tambah rumit.
''JCPOA itu bukan perjanjian ekonomi, tapi perjanjian soal aman dan tidak aman,'' kata Araqchi.