Jumat 23 Feb 2018 10:23 WIB

Jokowi Diminta Keluarkan Perppu Cabut UU MD3

UU MD3 khususnya pasal 122 huruf k dinilai mengekang suara rakyat

Presiden Joko Widodo
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo diminta mengeluarkan peraturan Pemerintah pengganti UU (perppu) untuk mencabut pasal-pasal di UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang bersifat kontra reformasi dan kontra demokratik. Jokowi memiliki kewenangan untuk mencabut pasar-pasal tersebut.

"Setelah menandatangani UU MD3, Presiden bisa mencabut pasal-pasal tersebut," kata Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino, Jumat (23/2).

Menurut Girindra Sandino, jika permasalahan UU MD3 ini berlarut, maka dikhawatirkan akan menurunkan kewibawaan dan kepercayaan publik serta kelompok sipil pro demokrasi terhadap Presiden, juga menunjukkan betapa rapuhnya pemerintahan pusat, terlebih menjelang pemilu. KIPP Indonesia berpendapat UU MD3 yang baru disetujui DPR untuk disahkan oleh Presiden dapat mengekang dan membungkam suara kritis dari rakyat, khususnya pasal 122 huruf k.

"Keberadaan pasal ini akan membungkam suara kritis rakyat dengan kuasa premanisme berbaju Parlemen," kata Girindra.

Pasal 122 huruf k berbunyi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. KIPP Indonesia menilai secara sadar revisi UU MD3, merupakan wujud dari pengekangan dengan perangkat pemusnah kebebasan bersuara yang menandakan bangsa telah masuk dalam genggaman penghancuran Pancasila.

Kebebasan berpendapat dan menyuarakan pemikiran adalah bukti bahwa rakyat Indonesia memang cerdas dan haus akan pengetahuan. Penyaluran opini personal dan kelompok bukan bertujuan untuk mengganggu atau merendahkan suatu kelompok, terlebih yang mulia para anggota parlemen, tapi uara dan pendapat dilemparkan ke publik untuk menerima balasan.

KIPP berpandangan, pengakuan dan realisasi hak kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat merupakan salah satu ciri pokok demokrasi yang secara nasional telah dijamin dalam UUD 1945 dan sejumlah perundang-undangan. Antara lain UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU Hak Asasi Manusia dan UU tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Oleh karena itu, kata Girindra, proteksi konstitusional dan yuridis atas hak-hak strategis tersebut harus menjadi komitmen dan pedoman bagi pemerintah serta lembaga negara, penegak hukum, serta pranata-pranata demokrasi tanpa kecuali. "Penegasian atas hak asasi manusia yang fundamental itu akan merusak sendi-sendi demokrasi yang sudah dibangun," katanya.

Menurut dia, kriminalisasi atas aksi berpendapat merupakan musuh Pancasila. Dikatakan musuh karena pengekangan dan pembungkaman adalah bentuk perlawanan terhadap rasa berkeadilan sosial yang berperikemanusiaan. Namun demikian, setiap manusia juga harus menjaga etika dan perilaku berkomunikasi.

Pengekangan kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan mengkritik parlemen bukan hanya langkah mundur kehidupan berdemokrasi, tetapi juga berpotensi jadi ancaman tersendiri bagi konsolidasi demokrasi. "Revisi UU MD3 seperti memperlihatkan para anggota DPR RI mengalami gejala 'gila hormat'," tutur Girindra.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement