REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjalani sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). PK ini atas vonis hukuman dua tahun penjara dalam kasus penistaan agama yang dijatuhkan majelis hakim pada Mei 2017 lalu.
Pengamat Hukum Universitas al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan Ahok berpeluang bebas jika PK tersebut dikabulkan oleh hakim. "Kalau ditolak kemungkinannya hukumannya tetap seperti sebelumnya, jika dikabulkan bisa dibebaskan atau dikurangi hukumannya," kata Suparji saat dihubungi Republika.co.id, Senin (26/2).
Suparji menilai pengajuan PK Ahok pada tingkat satu sudah berkekuatan hukum tetap. Namun di sisi lain pihak Ahok juga telah menemukan bukti baru yang digunakan untuk pengajuan PK.
Sebelumnya diketahui dasar Ahok mengajukan PK adalah putusan perkara Buni Yani yang telah divonis satu tahun enam bulan terkait tindak pidana UU ITE. Menanggapi dasar pengajuan PK tersebut, Suparji mengatakan hakim pengadilan negeri, Jakarta Utara dalam pertimbangan putusannya menyatakan tidak ada kaitan kasus Ahok dengan Buni Yani.
"Jadi kalau putusan Buni yang dijadikan pertimbangan atau sebagai bukti baru maka itu bukan bukti baru, dengan demikian seharusnya PK ditolak," kata Suparji.
Ahok diketahui mengajukan PK vonisnya ke MA pada 2 Februari 2018. Dalam sidang perdana PK hari ini Ahok tampak tidak hadir dan hanya diwakilkan kuasa hukumnya.
"Diperbolehkan (tidak hadir) karena sudah memberi kuasa kepada penasehat hukum dan yang diperiksa adalah bukti-bukti baru," imbuhnya.