REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang berkas Peninjauan Kembali (PK) atas terpidana kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dianggap tidak ada landasan hukum tetap. Sebabnya, sandaran pengajuan PK berdasar Novum atau bukti baru putusan Buni Yani belumlah inkrah.
Hal ini disampaikan Koordinator Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Nasrulloh Nasution. "Informasi yang saya dapatkan PK ini berdasarkan atas Novum (bukti baru) yakni putusan Buni Yani kalau saya tidak salah," katanya kepada wartawan, Senin (26/2).
Sedangkan, lanjut dia, putusan tersebut belum inkrah atau berkekuatan hukum tetap. "Sehingga, tidak bisa dijadikan landasan hukum," tegasnya.
Setelah Buni Yani divonis bersalah, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Pengadilan Tinggi Bandung tak mengubah putusan dari pengadilan negeri, banding Buni Yani akan dilanjutkan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Karena banding Buni Yani masih berproses, alasan PK Ahok atas bukti vonis Buni Yani yang masih berproses banding dianggap masih belum inkrah. Atau dalam kata lain alasan PK belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Ini sesuai dengan aturan dalam KUHP pasal 263 terkait permintaan PK, bahwa PK dapat dilakukan apabila terdapat keadaan atau bukti baru. Di mana itu bertentangan satu sama lain, dan putusan Hakim menunjukkan kekhilafan hakim atau kekeliruan.
Nasrulloh mengatakan, atas alasan itu wajar maka perlu dilakukan penolakan atas PK Ahok. Penolakan yang dilakukan adalah untuk menjaga agar lembaga peradilan independen. Dan penolakan dari masyarakat ini agar peradilan berani mengambil putusan menolak PK tersebut.
"Ini penting untuk menjaga peradilan dari Intervensi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," imbuh Nasrulloh.