REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai putusan atas perbuatan Buni Yani belum bisa menjadi novum atau bukti baru atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pihak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam perkara penodaan agama. Menurutnya putusan perkara hukum Buni Yani itu belum final sebab masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.
"Sebagai putusan yang belum final, putusan Buni Yani belum bisa menjadi novum," tutur dia kepada Republika.co.id, Selasa (27/2).
Lebih lanjut, Fickar menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi siapapun yang terkait dengan suatu perkara hukum, untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan ada kekhilafan majelis pada pihak yang bersangkutan. "Tidak ada larangan (mengajukan PK) dengan alasan kekhilafan hakim," kata dia.
Fickar pun melanjutkan, PK bisa diajukan dengan dua alasan. Pertama ada kesesatan atau kekeliruan dalam putusan pengadilan yang sebelumnya. Kedua, ada novum atau bukti baru atau keadaan baru.
"Jika (novum) ini diketahui pada waktu sidang, maka putusan pengadilan akan membebaskan terdakwa," ungkap dia.
Karena itu, menurut Fickar, Ahok atau siapapun yang berstatus narapidana sekalipun, itu mempunyai hak untuk mengajukan PK. PK ini kemudian bisa ditujukan untuk mengurangi putusan, dan juga bisa untuk meminta Mahkamah Agung menyatakan bahwa terpidana tidak bersalah.
"Secara jelas, kalau dinyatakan tidak bersalah, nama Pak Ahok akan bersih kembali, artinya tidak pernah dihukum," ungkap dia.