Kamis 01 Mar 2018 16:00 WIB

Pukat UGM: Meski Uang Dikembalikan, Kasus tak Bisa Disetop

Pengembalian kerugian negara tidak lantas menghapuskan pidananya.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andri Saubani
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.
Foto: Republika
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak kepolisian beserta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) menandatangani Perjanjian Kerja Sama Koordinasi pada Rabu (28/2) kemarin. Dalam nota kesepahaman tersebut dikatakan, penyelidikan kasus korupsi pejabat daerah bisa dihentikan jika tersangka telah mengembalikan uang kerugian negara ke kas negara.

Menanggapi hal ini, Oce Madril selaku anggota Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengatakan kesepakatan itu akan bermasalah secara hukum. Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disebut bahwa pengembalian kerugian negara tidak lantas menghapuskan pidananya.

"Saya sebetulnya belum tahu yang dimaksud pengembalian kerugian negara ini dalam konteks hukum administrasi atau hukum pidana. Kalau hukum pidana, ini melanggar Undang-undang," ujar Oce Madril saat dihubungi Republika, Kamis (1/3).

Dirinya menambahkan, dalam konteks hukum admininstrasi, memang ada konteks pengembalian kerugian negara jika kesalahannya bersifat administratif. Namun jika kesalahan yang dilakukan bersifat pidana dan melanggar atau melawan hukum, maka tindak pidana tidak bisa dihapuskan.

Walaupun tersangka dikatakan sudah mengembalikan sejumlah uang sesuai dengan kerugian negara, proses pidana harus tetap dilanjutkan. Hal tersebut sudah tertulis dalam Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam praktik penegakan hukum yang berjalan selama ini juga mematuhi aturan tersebut.

"Nota kesepakatan itu tidak mungkin diterapkan karena UU saja tidak berbicara demikian. Tentu nantinya penegak hukum tidak ingin dianggap melangkahi UU Tipikor juga, kan?" lanjut ahli hukum tata negara ini.

Oce Madril menambahkan pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri yang juga ikut menandatangani perjanjian tersebut beserta pihak kepolisian perlu memahami betul isi perjanjian. Jangan sampai ada poin-poin dalam kesepakatan tersebut yang melanggar prinsip dalam UU.

Kedua pihak ini juga disebut boleh saja membuat kesepakatan mengenai cara mengatasi korupsi di daerah. Namun, diharapkan tidak menabrak UU sesuai poin yang sudah dijelaskan di atas. Apalagi, jika tersangka melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan unsur yang disebutkan dalam UU.

Beberapa unsur yang mengkategorikan seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi di antaranya, merugikan negara, melanggar hukum, penyalahgunaan kewenangan, serta memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan menerima hadiah atau gratifikasi. Jika seseorang terbukti melakukan tindakan diatas maka dirinya terkena hukum tindak pidana dan kasusnya wajib dilanjutkan hingga tuntas.

"Beda lagi kalau bukti yang ada menunjukkan ada kerugian negara karena masalah administratif, maka hukumnya menggunakan hukum administratif dan wajib mengembalikan sebesar kerugian negara," ujarnya.

Oce menyatakan, perlunya Polri dan Kemendagri untuk melakukan peninjauan kembali atas nota kesepakatan yang ada. Jangan sampai ke depannya nota tersebut menjadi bertabrakan dengan UU selaku acuan hukum negara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement