REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu menyusun peraturan teknis untuk mengatasi potensi adanya calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) tunggal dalam pemilu. Titi mengingatkan semangat dalam pemilihan presiden (pilpres) yang berpihak kepada kompetisi antarpaslon.
"Menurut pandangan kami masih sangat mungkin menyusun peraturan KPU (PKPU), meski dalam hal itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah mengupayakan secara maksimal agar jangan sampai ada capres-cawapres tunggal, " jelas Titi ketika dijumpai wartawan di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/3).
Dia menjelaskan, dalam pasal 235 ayat 6 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan, jika dalam hal sampai dengan setelah perpanjangan masih tetap ada satu paslon capres-cawapres yang mendaftar, maka tahapan pemilu dilaksanakan sesuai peraturan perundangan. "Jadi, kalau kami membaca pada pasal 235 ayat 6 itu memang memungkinkan adanya calon tunggal. Namun, bahasanya tidak ada di dalam UU tersebut. Maka teknis tersebut harus diatur oleh KPU di dalam PKPU," tegas Titi.
Dia melanjutkan, apabila pada akhirnya hanya benar-benar ada satu pasangan capres-cawapres, maka KPU disarankan merujuk kepada preseden dalam pelaksanaan Pilkada. Titi menuturkan, hal yang bisa dilakukan oleh KPU yakni menduplikasi aturan ketika ada calon tunggal di Pilkada untuk diterapkan dalam PKPU nantinya.
"Sebagai masyarakat kami berharap bahwa UU dan konstitusi kita pada dasarnya menginginkan ada kompetisi antarcalon, maka dari itu kan ada dua putaran (dalam pemilu). Sebab ada ekspektasi bahwa pilpres itu betul diikuti oleh calon-calon yang kemudian mendapatkan dukungan mayoritas, " tambah Titi.
Sebelumnya, Titi mengatakan bahwa capres tunggal hanya akan merugikan parpol. Pasalnya, masyarakat akan menjadi skeptis terhadap pelaksanaan pemilu.
"Pemilu serentak parpol akan dirugikan jika hanya ada capres tunggal. Bisa memicu skeptisme masyarakat dan menurunnya angka partisipasi pemilih dan bisa berakibat rendahnya legitimasi," tegas Titi saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (8/3).