REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai usulan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak tepat. Untuk itu, menurut dia di Jakarta, Rabu jika ada masyarakat yang tidak puas dengan perubahan kedua UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, dipersilahkan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apabila ada pasal-pasal yang bertentangan dengan hati nurani masyarakat, bisa dilakukan uji materi ke MK. Presiden tidak perlu mengeluarkan Perppu," kata Taufik di Kompleks Parlemen, Rabu (14/3).
Namun, dia menilai perppu merupakan hak konstitusional Presiden dengan berbagai pertimbangan. Dia mengatakan, batas waktu penandantanganan perubahan kedua UU MD3 oleh Presiden Joko Widodo berakhir pada Rabu (14/3) setelah sebelumnya disetujui DPR dan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin (12/2).
Taufik Kurniawan memastikan, sebagaimana UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kendati UU MD3 belum ditandatangani Presiden selama 30 hari, UU tersebut akan tetap berlaku. "Hari ini, setelah 30 hari UU MD3 disahkan di Parpiruna, merupakan batas penandatanganan UU MD3 oleh Presiden. Namun sepertinya belum ada kabar Presiden menandatangani UU itu," ujarnya.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (12/2) menyetujui perubahan kedua Rancangan Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang. Namun rapat pengesahan diwarnai dengan aksi walk out dari Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi PPP.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 122 huruf (k) yang menyebutkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diberikan tugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dalam pasal 245 UU MD3 hasil perubahan kedua dijelaskan, ayat (1) "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD".
Ayat (2) berbunyi, "Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana kejahatan terhadal kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.