REPUBLIKA.CO.ID, KIGALI -- Rwanda melarang masjid-masjid yang ada di ibukota, Kigali, untuk menggunakan pengeras suara selama panggilan untuk melaksanakan shalat (azan). Otoritas di negara di Afrika Timur ini mengatakan, seruan shalat atau adzan yang dilakukan lima kali sehari telah mengganggu warga di distrik Nyarugenge. Distrik tersebut adalah tempat bagi masjid-masjid terbesar yang ada di ibukota.
Namun demikian, seorang pejabat dari asosiasi Muslim mengkritik larangan tersebut. Mereka mengatakan, masjid-masjid tersebut justru bisa menurunkan volume suara adzan tersebut.
Bulan lalu, sekitar 700 gereja ditutup karena tidak mematuhi peraturan bangunan dan dianggap menimbulkan kebisingan. Mayoritas penduduk Rwanda adalah orang Kristen. Sedangkan Muslim membentuk sekitar lima persen dari populasi di sana.
Sementara itu, pemerintah mengatakan, komunitas Muslim telah mematuhi larangan tersebut. Seorang pejabat setempat dari Nyarugenge, Havuguziga Charles, mengatakan, umat Muslim di sana telah menghormati peraturan yang dikeluarkan terkait pengeras suara itu.
"Saya telah menemukan jika mereka telah mulai menghormati larangan itu dan itu tidak menghentikan para pengikut mereka untuk pergi beribadah sesuai dengan waktu shalat mereka," kata Charles, dilansir di BBC, Kamis (15/3).
Larangan ini muncul seiring dengan langkah pemerintah yang terus melakukan tindakan keras terhadap gereja-gereja di bawah standar di seluruh Rwanda. Kebanyakan dari mereka adalah gereja Pentekosta kecil. Selain itu, adapula satu masjid yang ditutup.
Pemerintah mengatakan, alasan penutupan itu karena sejumlah khatib (pendakwah) menipu jamaah mereka dengan khutbah yang menyesatkan. Namun, beberapa khatib justru menuduh pemerintah mencoba mengendalikan pesan mereka kepada seluruh jamaah di negara tersebut. Sementara Rwanda dituduh oleh kelompok hak asasi manusia karena membatasi kebebasan berbicara.