REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi setelah kasus bocornya data Facebook. Pratama menjelaskan bahwa peristiwa Facebook ini memperjelas bagaimana pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan.
"RUU Perlindungan Data Pribadi harus dikebut. Kita sulit untuk meminta pertanggungjawaban Facebook karena instrumennya tidak ada. Berbeda dengan negara-negara Eropa yang langsung mengirimkan undangan kepada Zuckerberg," kata pria asal Cepu, Jawa Tengah ini, melalui surat elektronik, Rabu (21/3) malam.
RUU Perlindungan Data Pribadi tidak masuk dalam Prolegnas 2018. Meski DPR dan Kemenkominfo mendorong, Kemenkumham lebih memilih RUU lainnya untuk dijadikan prioritas selesai pada 2018.
Pemerintah, kata dia, juga sedang mengumpulkan data masyarakat, salah satunya lewat KTP elektronik dan registrasi kartu prabayar. Ada juga rencana membagi data tersebut untuk keperluan tertentu, seperti administrasi dan bisnis.
"Tentu secara bersamaan masyarakat perlu dilindungi dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga apa yang boleh dan tidak menjadi jelas," katanya.
Bocornya data Facebook
Pratama mengatakan dunia sedang dikejutkan oleh kabar bocornya data pengguna Facebook sebanyak lebih dari 50 juta akun kepada pihak ketiga. Menurut dia, kabar tersebut menyebar setelah ada pengakuan dari internal Cambridge Analytica bahwa mereka mendapatkan data dari Facebook, kemudian klien mereka menggunakannya.
Salah satu klien Cambridge Analytica adalah Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat di akhir 2016. Kabar tak sedap ini membuat saham Facebook turun sebanyak 6,8 persen. Bahkan, diperkirakan akan terus turun.
Selain itu, parlemen Uni Eropa memanggil Mark Zuckerberg untuk hadir di sidang parlemen Uni Eropa di Brussles Belgia. Parlemen Inggris tidak mau ketinggalan meminta penjelasan langsung dari Zuckerberg.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) berpendapat bahwa ini momentum yang tepat untuk mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Facebook sendiri diketahui juga pemilik dari Instagram dan WhatsApp, aplikasi instant messaging terbesar di dunia saat ini.
Facebook, kata Pratama, sudah diketahui lama memanfaatkan data para penggunanya untuk kepentingan bisnis. Namun, peristiwa skandal Facebook dan Cambridge Analytica ini bertambah ramai karena menyeret nama Presiden AS Donald Trump.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini lantas menginformasikan Cambridge Analytica adalah konsultan politik saat Donald Trump maju pada Pilpres AS di akhir 2016. Selain isu keikutsertaan Rusia dalam membantu kemenangan Trump, menurut dia, kini Facebook juga langsung dihantam karena dianggap membiarkan dan membantu kemenangan Trump.
Sebab, selama masa pemilu banyak konten hoaks dan bernada rasis yang muncul di beranda Facebook para pemilih di AS. "Facebook membuka data pengguna kepada pihak ketiga memang sangat mudah. Bahkan, sampai pada tahun 2014, Facebook masih mempunyai program Friend Permission untuk pihak ketiga sehingga cakupan data yang diambil menjadi sangat banyak," katanya.
Program Friend Permission adalah sebutan untuk Application Programme Interface (API) milik Facebook yang diberikan kepada pihak ketiga. Dengan API ini, pihak ketiga tidak hanya mendapatkan data dari pemilik akun tertarget, tetapi juga teman-temannya di Facebook. Hal ini memungkinkan Cambridge Analytica memperoleh data dalam jumlah yang sangat banyak.