REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, para politikus yang disebut Setya Novanto menerima aliran dana KTP elektronik di persidangan belum tentu menjadi fakta kebenaran. Karena itu, perlu ada konfirmasi dari beberapa saksi yang perkataannya dikutip oleh Novanto, yakni Made Oka Masagung dan Andi Narogong.
"Dalam konteks yang disebutkan oleh terdakwa SN (Novanto) bisa menjadi fakta hukum jika sudah dikonfirmasi oleh saksi-saksi yang disebut SN, yaitu OK (Made Oka) dan AN (Andi). Hal ini menjadi mutlak karena belum tentu yang dikemukakan SN suatu fakta kebenaran," ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (23/3).
Fickar memaparkan, yang diucapkan oleh pihak-pihak saksi atau terdakwa di pengadilan jika berkesesuaian dengan pihak atau saksi lainnya maka itu menjadi fakta persidangan atau fakta hukum. Dalam hal ini, KPK sudah mendapatkan bahan baru mengenai pihak-pihak yang menikmati hasil kejahatan KTP-el.
"Kewajiban KPK mengonfirmasi pada pihak-pihak lainnya agar menjadi fakta hukum. Jika sudah menjadi fakta hukum maka sudah bisa dikonfirmasi sebagai alat bukti, jika sudah dianggap cukup maka bisa dijadikan dasar untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus KTP-el," ujarnya.
Dalam sidang pemeriksaan terdakwa kasus KTP-el di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (22/3) kemarin, Novanto menyebut nama Pramono Anung dan Puan Maharani turut menerima aliran dana korupsi proyek KTP-el. Menurut dia, keduanya masing-masing mendapatkan 500 ribu dollar AS. Kendati demikian, kepada majelis hakim, Novanto mengaku hanya mendengar terkait penyerahan uang kepada anggota DPR dari Made Oka Masagung dan Andi Narogong.
Selain nama Pramono dan Puan, Novanto juga menyebut beberapa nama lain yang menerima aliran uang tersebut. Di antaranya, yakni diberikan kepada mantan ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Melchias Markus Mekeng, Tamsil Linrung, dan Olly Dondokambey.