REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam dengan pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi mengagendakan dialog kedua pada pekan ini. Kalau jadi dilakukan, maka dialog ini merupakan yang kedua kali, melanjutkan dialog pertama pekan lalu. Dialog sebelumnya belum menemukan kata sepakat antara kedua pihak, terkait kebijakan pembatasan cadar oleh IAIN Bukittinggi.
Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang kini libur mengajar karena keputusannya, berharap dialog kedua ini bisa memberikan solusi atas polemik yang terjadi. Ia berharap, pihak kampus melunak dan mengizinkan dirinya tetap mengenakan cadar di lingkungan akademik.
"Rencananya akan ada mediasi lagi yang melibatkan banyak pihak. Jika tidak membuahkan hasil, akan diperjuangkan ke jalur hukum," ujar Hayati, Selasa (27/3).
Sekretaris Jenderal GNPF-Ulama Bukittinggi dan Agam, Ridho Abu Muhammad, mengatakan, belum ada kepastian kapan dialog dengan pihak kampus bisa dilakukan. Pihaknya, kini masih merampungkan poin-poin apa saja yang akan diusung dalam mediasi dengan kampus, selain yang utama adalah desakan bagi kampus untuk mengizinkan cadar dikenakan di lingkungan akademik.
"Teman-teman yang diutus untuk berdialog belum memberi konfirmasi terkait pertemuan dengan mediator," ujar Ridho.
Sebelumnya, Hayati mengingatkan, bahwa dirinya saat ini berdiri di tengah konflik, lantaran statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di IAIN Bukittinggi, sekaligus sebagai korban atas aturan kampus yang membatasi penggunaan cadar. Baginya, posisi ini membuatnya harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat.
Apalagi, dia mengaku, tak ingin polemik ini justru memunculkan konflik yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat.
"Saya tak ingin menjadi korek api dan minyak tanah. Saya ingin ada mediasi yang mewakili saya sebagai korban sekaligus masyarakat yang menaruh harapan besar kepada kampus," katanya.